JATENG – Sebanyak 13 santri dan pengurus Pondok Pesantren Ora Aji asuhan Gus Miftah dilaporkan ke polisi. Belasan santri diadukan ke polisi diduga melakukan penganiayaan terhadap seorang santri.
Kronologi Kasus yang Menghebohkan
Peristiwa yang terjadi di Pesantren Ora Aji ini diduga melibatkan tindakan kekerasan terhadap seorang santri. Berdasarkan laporan, 13 pelaku—yang terdiri dari empat anak di bawah umur dan sembilan orang dewasa—diduga melakukan penganiayaan terhadap korban.
Kasus ini kini ditangani oleh Polresta Sleman, dengan laporan resmi mengacu pada Pasal 170 juncto 351 juncto 55 KUHP tentang tindak pidana pengeroyokan.
Kapolresta Sleman, Kombes Pol Edy Setianto Erning Wibowo, menyatakan bahwa proses hukum masih berjalan. “Kemarin dari korbannya sendiri mengajukan RJ (Restorative Justice), tapi kita menunggu laporannya dari mereka,” ungkapnya, seperti dikutip dari sumber resmi. Namun, hingga kini, belum ada keterangan resmi dari pihak pengelola pesantren maupun Gus Miftah terkait insiden ini.
Tanggapan Publik dan Tuntutan Klarifikasi
Kasus ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak, terutama keluarga korban yang menyayangkan sikap diam pengasuh pesantren. Heru, perwakilan keluarga, menyampaikan kekecewaannya:
“Yang kami sayangkan dari kenapa dari pihak pengasuh, dari pondok kok sama sekali tidak ada komentar apa pun, cuma lawyernya dan yayasan. Sedangkan ini kan adalah santrinya.” Ia menuntut agar proses hukum berjalan transparan dan pelaku, termasuk yang berstatus dewasa, segera ditahan.
Warganet juga ramai membahas kasus ini di media sosial, dengan banyak yang mempertanyakan bagaimana insiden semacam ini bisa terjadi di lingkungan pendidikan agama yang seharusnya menjunjung nilai-nilai moral. Beberapa pihak mendesak Gus Miftah untuk memberikan pernyataan resmi guna menjernihkan situasi.
Latar Belakang Pesantren Ora Aji
Pesantren Ora Aji bukanlah nama asing di Yogyakarta. Didirikan pada 2011 oleh Gus Miftah, pesantren ini awalnya memiliki fasilitas sederhana tanpa asrama. Baru pada 2015 asrama dibangun, memungkinkan santri untuk tinggal di lokasi. Pesantren ini juga sempat menjadi sorotan karena pembangunannya disebut-sebut mendapat dukungan dari mantan Presiden Joko Widodo melalui arahan kepada mantan Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono.
Namun, sorotan publik terhadap pesantren ini tidak selalu positif. Sebelumnya, Gus Miftah sempat terseret kontroversi akibat video viral yang menunjukkan dirinya mengolok-olok seorang penjual es teh. Kini, kasus penganiayaan ini kembali mencoreng reputasi pesantren yang dikenal dengan pendidikan agama dan kepedulian sosialnya.
Upaya Penyelesaian dan Tantangan Hukum
Menariknya, korban dalam kasus ini disebut-sebut mengajukan pendekatan restorative justice (RJ), sebuah metode penyelesaian hukum yang mengedepankan mediasi dan perdamaian. Namun, polisi masih menunggu laporan resmi dari pihak korban untuk melanjutkan proses ini. Sementara itu, status beberapa pelaku yang masih di bawah umur menjadi tantangan tersendiri dalam penegakan hukum, karena memerlukan pendekatan khusus sesuai regulasi perlindungan anak.
Kasus ini bukan sekadar insiden penganiayaan biasa. Melibatkan sebuah institusi pendidikan agama yang dipimpin oleh figur publik seperti Gus Miftah, peristiwa ini menimbulkan pertanyaan besar tentang pengawasan, disiplin, dan budaya di lingkungan pesantren. Publik kini menanti langkah konkret dari pihak pesantren untuk menangani kasus ini, baik melalui jalur hukum maupun upaya internal untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Hingga kini, pihak kepolisian masih terus menyelidiki kasus ini, sementara tekanan publik terhadap Gus Miftah dan pengelola Pesantren Ora Aji semakin meningkat. Akankah kasus ini diselesaikan melalui restorative justice, atau justru berlanjut ke meja hijau? Yang jelas, insiden ini menjadi pengingat bahwa lingkungan pendidikan, termasuk pesantren, harus terus memperkuat sistem pengawasan untuk melindungi para santrinya.