TEL AVIV, ISRAEL – Israel kembali menunjukkan sikap keras dengan menolak pembebasan enam tahanan senior Palestina yang diusulkan Hamas sebagai bagian dari negosiasi gencatan senjata di Jalur Gaza.
Penolakan ini, yang disebut sebagai “veto total”, mengancam kelanjutan proses damai yang tengah dimediasi oleh Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat, sekaligus memicu ketegangan baru di tengah konflik yang telah merenggut puluhan ribu nyawa sejak Oktober 2023.
Berdasarkan laporan surat kabar Israel Yedioth Ahronoth, Israel secara tegas menolak seluruh nama tahanan senior yang diajukan Hamas dari daftar 50 pembebasan yang diminta. Padahal, kesepakatan awal mencakup pertukaran 20 sandera Israel yang masih hidup dengan sekitar 2.000 tahanan Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel.
Langkah ini dinilai sebagai strategi Tel Aviv untuk mempertahankan posisi tawar, mengingat profil para tahanan yang dianggap sebagai ancaman keamanan nasional.
Keenam tahanan yang ditolak pembebasannya adalah figur kunci dalam perlawanan Palestina, yang oleh Israel dicap sebagai teroris karena keterlibatan mereka dalam serangan mematikan terhadap warga sipil.
Salah satunya, Marwan Barghouti, anggota Fatah dan tokoh populer yang kerap disebut sebagai calon pengganti Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, dihukum seumur hidup atas tuduhan mengarahkan serangan selama Intifada Kedua.
Ahmad Sa’adat, pemimpin Front Populer untuk Pembebasan Palestina, dipenjara 30 tahun karena terlibat dalam pembunuhan Menteri Pariwisata Israel Rehavam Ze’evi pada 2001.
Nama lain seperti Abbas al-Sayyid, Ibrahim Hames, Abdullah Barghouti, dan Hassan Salameh dari Hamas juga dituduh merencanakan dan melaksanakan serangan besar, termasuk pengeboman Hotel Park 2002 dan bus pada 1996, yang menewaskan puluhan warga Israel.
Negosiasi Gencatan Senjata di Ujung Tanduk
Pembicaraan gencatan senjata ini merupakan kelanjutan dari mediasi internasional yang kerap tersendat. Jika tercapai, kesepakatan tahap pertama akan meliputi penghentian tembak-menembak dalam 24 jam, penarikan sebagian pasukan Israel dari Gaza Utara, dan pembebasan 20 sandera Israel—termasuk warga sipil dan tentara—dalam waktu 72 jam, ditukar dengan 2.000 tahanan Palestina, termasuk remaja dan perempuan yang ditahan tanpa dakwaan.
Namun, veto Israel terhadap enam nama kunci ini dapat memicu respons keras dari Hamas. *Middle East Monitor* melaporkan bahwa Hamas mengancam memperpanjang penahanan sandera jika tuntutan mereka tidak dipenuhi. Konflik Gaza sendiri telah menewaskan lebih dari 40.000 warga Palestina dan 1.200 warga Israel sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, menurut data PBB.
Ancaman Krisis Kemanusiaan dan Stabilitas Regional
Penolakan ini bukan sekadar soal nama, melainkan cerminan jurang ketidakpercayaan antara kedua pihak. Aktivis hak asasi manusia memperingatkan bahwa sikap keras Israel dapat memperparah krisis kemanusiaan di Gaza, di mana blokade telah membatasi akses terhadap makanan, air, dan obat-obatan.
Sebaliknya, pejabat Israel menegaskan bahwa membebaskan tahanan yang dianggap “pembunuh massal” akan membahayakan keamanan nasional.
Hamas, melalui saluran media resminya, menegaskan komitmen untuk “melindungi hak rakyat Palestina”, sementara Kementerian Luar Negeri Israel belum memberikan tanggapan resmi. Pengamat kini menanti putaran negosiasi berikutnya di Doha dalam 48 jam ke depan, yang akan menentukan apakah perdamaian masih mungkin tercapai.




