JAKARTA – Pemerintah Indonesia di bidang hukum tampaknya terbelah dalam pandangan soal penanganan korupsi. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Supratman Andi Agtas, mengusulkan bahwa kasus korupsi dapat diselesaikan dengan pendekatan denda damai. Namun, pandangan tersebut ditentang oleh Kejaksaan Agung.
Supratman menyatakan, pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, berpotensi mendapatkan pengampunan melalui mekanisme denda damai. Ia menegaskan, hal ini sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepada Kejaksaan Agung berdasarkan Undang-Undang (UU) Kejaksaan yang baru.
“Tanpa harus melalui presiden, koruptor dapat diberi pengampunan karena UU Kejaksaan yang baru memberikan ruang bagi Jaksa Agung untuk menerapkan denda damai dalam kasus tersebut,” ujar Supratman dalam keterangan tertulis yang dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (25/12), dikutip dari Antara.
Denda damai yang dimaksud adalah penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan pembayaran denda yang disetujui Jaksa Agung. Mekanisme ini bertujuan untuk mengatasi tindak pidana yang berpotensi merugikan negara.
Lebih lanjut, Supratman menjelaskan bahwa pelaksanaan denda damai masih menunggu peraturan turunan dari UU Kejaksaan. Pemerintah dan DPR telah sepakat bahwa peraturan tersebut akan berupa Peraturan Jaksa Agung.
“Peraturan turunannya yang belum ada. Kami sudah sepakat dengan DPR, cukup dengan Peraturan Jaksa Agung,” tambahnya.
Supratman menegaskan bahwa salah satu fokus utama dalam penanganan kasus korupsi adalah pemulihan aset negara. Menurutnya, pemulihan aset akan lebih efektif dalam mengembalikan kerugian negara dibandingkan dengan sekadar pemberian hukuman kepada pelaku korupsi.
Namun, pandangan ini ditanggapi berbeda oleh Kejaksaan Agung. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengonfirmasi bahwa meski UU Nomor 11/2021 tentang Kejaksaan mengatur mekanisme denda damai, aturan tersebut hanya berlaku untuk tindak pidana yang merugikan perekonomian negara.
“Ketentuan mengenai denda damai yang dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf k UU Kejaksaan, hanya berlaku untuk tindak pidana yang terkait dengan sektor ekonomi, seperti kepabeanan atau bea cukai,” jelas Harli.
Sementara itu, untuk tindak pidana korupsi, Kejaksaan Agung tetap berpegang pada ketentuan yang ada dalam UU Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3. Harli menegaskan bahwa secara yuridis, korupsi tidak termasuk dalam kategori pidana yang bisa diselesaikan dengan denda damai.
“Kecuali jika ada definisi yang memasukkan korupsi sebagai tindak pidana ekonomi,” tambahnya.