JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mulai menyiapkan langkah konkret untuk mengejar target penerimaan pajak tahun 2026 yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp2.357,71 triliun.
Angka ini meningkat 13,51 persen dibandingkan target APBN 2025 yang senilai Rp2.076,9 triliun.
Target pajak Rp2.357 triliun pada 2026 menjadi salah satu ambisi fiskal terbesar dalam beberapa tahun terakhir.
Untuk mencapainya, pemerintah akan mengoptimalkan pemanfaatan Sistem Coretax sebagai pusat integrasi administrasi perpajakan. Teknologi ini diharapkan mampu memperluas basis pajak lewat pertukaran data, pemantauan transaksi digital baik domestik maupun internasional, hingga sinergi antar-lembaga.
“Kita lihat bahwa dari sisi administrasi kita masih akan terus memanfaatkan Coretax melalui sinergi pertukaran data, kemudian sistem pertukaran transaksi digital luar negeri dan dalam negeri,” ujar Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, dalam Webinar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Jakarta, secara daring, Selasa (26/8/2025).
Selain memperkuat infrastruktur digital perpajakan, DJP juga akan menjalankan program bersama (joint program) yang mencakup analisis data, pengawasan, pemeriksaan, hingga intelijen kepatuhan.
Pemerintah turut menyiapkan insentif fiskal guna menjaga daya beli masyarakat, mendorong investasi, serta mempercepat hilirisasi industri strategis.
Dari sisi kepabeanan dan cukai, strategi difokuskan pada optimalisasi Cukai Hasil Tembakau, perluasan Barang Kena Cukai (BKC), dan intensifikasi Bea Masuk (BM) perdagangan internasional.
Kebijakan Bea Keluar (BK) pun diarahkan mendukung hilirisasi produk nasional, disertai penegakan hukum untuk menekan peredaran barang ilegal.
“Di sisi PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), kita berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga yang terkait untuk melakukan perbaikan tata kelola, inovasi, pengawasan dan pengawasan dari sistem administrasi dari sisi SIMBARA (Sistem Informasi Minerba),” tambah Yon.
Namun, tantangan tetap ada. Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai target ambisius dalam RAPBN 2026 hanya bisa dicapai jika ada intervensi signifikan yang mampu mendongkrak penerimaan negara.
Ia mencontohkan capaian tahun 2022 ketika penerimaan pajak melonjak Rp438,16 triliun. Lonjakan itu dipicu pertumbuhan ekonomi 5,31 persen, kenaikan harga komoditas, dan implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Namun, tren berbeda terjadi pada 2023 dan 2024. Tanpa adanya intervensi khusus, tambahan penerimaan pajak hanya tercatat Rp152,47 triliun pada 2023 dan Rp63,17 triliun pada 2024. “Melihat secara historis, target penerimaan pajak dalam RAPBN 2026 memang terlalu optimis,” kata Fajry.
Dengan proyeksi ini, pemerintah menghadapi pekerjaan besar untuk memastikan strategi digitalisasi perpajakan, kebijakan fiskal, serta insentif ekonomi dapat berjalan selaras agar target pajak Rp2.357 triliun tidak sekadar angka di atas kertas.***




