JAKARTA – Kejaksaan Agung menyebutkan “Panglima” Cyber Army, MAM menerima uang sebesar Rp864,5 juta. MAM mengerahkan pasukan buzzer demi mencoreng nama Kejagung dalam korupsi PT Timah, impor gula, dan ekspor minyak goreng.
Peran Buzzer dalam Operasi Digital Kotor
Menurut Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, MAM tidak bertindak sendirian.
Ia berkolusi dengan tiga tersangka lain, yakni Marcella Santoso (MS), Junaedi Saibih (JS), dan Tian Bahtiar (TB), Direktur Pemberitaan JakTV.
Mereka diduga merancang skema jahat untuk menyebarkan narasi negatif di media sosial seperti X, TikTok, dan Instagram, guna mengganggu proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan.
“Tim penyidik pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menetapkan satu orang tersangka berinisial MAM (M Adhiya Muzakki) selaku ketua tim Cyber Army,” ujar Abdul Qohar
MAM memimpin 150 buzzer yang dibagi ke dalam lima kelompok bernama Tim Mustafa I hingga V. Setiap buzzer digaji Rp1,5 juta untuk menyebarkan komentar dan konten negatif yang menyerang kredibilitas Kejagung.
Konten berupa artikel dan video tersebut diproduksi oleh TB, dengan narasi yang menyudutkan penyidik, terutama terkait metode perhitungan kerugian negara.
Uang Mengalir dari Pengacara Hedon
Sumber dana Rp864,5 juta yang diterima MAM diduga berasal dari Marcella Santoso, seorang pengacara yang juga menjadi tersangka dalam kasus ini. Uang tersebut ditransfer melalui staf keuangan di kantor hukum Ariyanto Arnaldo Law Firm.
MAM juga diduga mencoba menghilangkan jejak dengan menghapus barang bukti, termasuk ponsel yang menyimpan komunikasi dengan MS dan JS.
“Tersangka MAM dan tersangka TB bersepakat dengan tersangka MS dan tersangka JS untuk membuat berita-berita negatif dan konten-konten negatif yang menyudutkan Kejaksaan Agung dalam penanganan perkara a quo di tingkat penyidikan, penuntutan, dan di persidangan,” jelas Qohar.
Tindakan Hukum Tegas dari Kejagung
Kejagung tidak tinggal diam. MAM kini ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan. Ia dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Bersama tiga tersangka lainnya, MAM menjadi bagian dari jaringan yang berusaha memanipulasi opini publik demi melindungi kepentingan pihak tertentu.
Ancaman Buzzer terhadap Demokrasi Digital
Kasus ini kembali menyoroti bahaya buzzer dalam ekosistem digital. Menurut Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Nenden Sekar Arum, buzzer sering digunakan untuk mengontrol opini publik dan menyebarkan disinformasi secara cepat.
“Ini lebih murah dan sulit ditelusuri dibandingkan propaganda konvensional,” katanya.
Dengan dana yang sulit dilacak dan akun-akun anonim, buzzer menjadi alat ampuh untuk menciptakan persepsi buruk, membungkam kritik, dan mengganggu proses hukum. Namun, Kejagung menegaskan komitmennya untuk menindak siapa pun yang mencoba mengintervensi penegakan hukum, termasuk melalui serangan siber terorganisir.
Penetapan MAM sebagai tersangka menjadi sinyal kuat bahwa Kejagung serius menangani kasus-kasus korupsi besar tanpa kompromi.