JAKARTA – Komisi Kode Etik Polri (KKEP) Divisi Propam Polri memberikan sanksi administratif berupa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) kepada mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja.
Keputusan ini diumumkan oleh Karopenmas Divhumas Polri, Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, di Jakarta, Senin (13/3).
Selain PTDH, AKBP Fajar juga dikenakan sanksi administratif berupa penempatan khusus (patsus) terhitung sejak 7 Maret hingga 13 Maret 2025. Sanksi etika juga dijatuhkan, dengan menyatakan perbuatannya sebagai tindakan tercela.
“Dalam sanksi administratif, diputuskan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai anggota kepolisian,” tegas Brigjen Pol. Trunoyudo.
“Dosa-dosa” AKBP Fajar
Sidang etik mengungkap sejumlah pelanggaran serius yang dilakukan AKBP Fajar selama menjabat sebagai Kapolres Ngada.
Beberapa di antaranya meliputi:
- Pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur.
- Persetubuhan dengan anak di bawah umur.
- Perzinaan tanpa ikatan pernikahan yang sah.
- Penggunaan narkoba.
- Merekam, menyimpan, mengunggah, dan menyebarluaskan video pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur.
Sementara itu, Karo Penmas Mabes Polri, Brigjen Trunoyudo, menambahkan bahwa AKBP Fajar telah menyatakan banding atas putusan tersebut.
“Pelanggar dinyatakan banding, yang menjadi bagian daripada hak milik pelanggar,” ujarnya.
Latar Belakang Kasus
Sebelumnya, Polri telah menetapkan AKBP Fajar sebagai tersangka dalam kasus dugaan asusila dan penggunaan narkoba. Hasil pemeriksaan Divisi Propam Polri mengungkap bahwa AKBP Fajar diduga melakukan pelecehan seksual terhadap tiga anak di bawah umur dan satu orang dewasa berusia 20 tahun.
Ketiga korban anak di bawah umur tersebut berusia 6 tahun, 13 tahun, dan 16 tahun. Selain itu, AKBP Fajar juga diduga merekam aksi pelecehan seksualnya dan mengunggah video tersebut ke situs atau forum pornografi anak di darkweb.
Dampak dan Reaksi Publik
Kasus ini menimbulkan kecaman publik terhadap institusi kepolisian. Masyarakat menuntut transparansi dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku, terutama yang berasal dari kalangan penegak hukum sendiri.
Dengan dijatuhkannya sanksi administratif dan etika, Polri berupaya menunjukkan komitmennya dalam menjaga integritas dan kepercayaan masyarakat. Namun, proses banding yang diajukan AKBP Fajar masih menjadi perhatian, mengingat beratnya pelanggaran yang dilakukan.
Kasus AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja menjadi bukti bahwa tidak ada toleransi bagi pelanggaran hukum, terutama yang melibatkan kekerasan seksual terhadap anak dan penyalahgunaan narkoba. Sidang etik dan sanksi yang dijatuhkan diharapkan dapat menjadi pelajaran bagi seluruh anggota kepolisian untuk menjaga martabat dan kepercayaan masyarakat.