JAKARTA – Nilai tukar rupiah kembali menunjukkan penguatan pada awal pekan ketika pasar global memilih berhati-hati menantikan publikasi inflasi dan Purchasing Managers’ Index (PMI) sektor jasa Amerika Serikat.
Penguatan tipis tersebut tercermin pada penutupan perdagangan Senin sore yang mencatat kenaikan 12 poin menjadi Rp16.663 per dolar AS dibanding posisi penutupan akhir Rp16.675 per dolar AS.
Analis Bank Woori Saudara Rully Nova menegaskan bahwa sentimen global bergerak moderat karena pelaku pasar masih menahan langkah hingga data ekonomi utama AS resmi dirilis.
“Rupiah pada perdagangan hari ini menguat dipengaruhi oleh sentimen global terkait wait and see sehubungan rilis data inflasi dan PMI jasa AS,” ungkapnya dikutip dari Antara.
Ia menjelaskan bahwa proyeksi inflasi AS sulit dipastikan karena publikasi data Oktober 2025 terus tertunda akibat government shutdown yang menghentikan sementara kinerja lembaga statistik negara tersebut.
Mengacu pada inflasi September 2025 yang berada di 3 persen, sejumlah analis memperkirakan angka Oktober cenderung stagnan sambil menunggu kepastian jadwal rilis resmi dari otoritas AS.
Untuk PMI Jasa, pasar memperkirakan aktivitas tetap ekspansif dan berpotensi bergerak menuju level 52 yang menandakan permintaan sektor jasa AS masih kuat.
Ekspektasi penurunan suku bunga The Fed turut memberi ruang bagi rupiah, meski Rully menilai “Kemungkinan The Fed akan menaikkan bunga 25 bps (basis points) pada meeting minggu depan”.
Dari dalam negeri, rupiah ikut terdorong oleh laporan inflasi terbaru serta perkembangan neraca perdagangan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).
Indonesia mencatat inflasi bulanan sebesar 0,17 persen pada November 2025 yang ikut mengerek Indeks Harga Konsumen dari 109,04 menjadi 109,22.
Secara tahunan, inflasi mencapai 2,72 persen year-on-year dan secara tahun kalender berada di 2,27 persen year-to-date.
Rully menilai angka tersebut masih sesuai prediksi pasar seraya menambahkan “Inflasi Indonesia November 0,17 persen tidak jauh dengan ekspektasi pasar di 0,2 persen. Inflasi yang rendah bisa diindikasikan melemahnya daya beli masyarakat”.
Dari sisi perdagangan, Indonesia membukukan surplus kumulatif 35,88 miliar dolar AS periode Januari–Oktober 2025 atau naik 10,98 miliar dolar AS dibanding tahun sebelumnya.
Surplus itu telah berlanjut selama 66 bulan sejak Mei 2020, dengan penopang utama berasal dari komoditas nonmigas yang memberi kontribusi 51,51 miliar dolar AS sementara sektor migas masih defisit 15,63 miliar dolar AS.
Sementara itu, nilai acuan JISDOR justru bergerak melemah ke Rp16.668 per dolar AS dari posisi sebelumnya Rp16.661 per dolar AS.***