BANDUNG – Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, resmi menghirup udara bebas dengan status bebas bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, pada Sabtu, 16 Agustus 2025.
Terpidana kasus megakorupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP) ini mendapatkan keringanan hukuman setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya.
Setya Novanto, yang akrab disapa Setnov, awalnya dijatuhi hukuman 15 tahun penjara atas kasus korupsi E-KTP yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun. Namun, putusan PK MA mengurangi masa hukumannya menjadi 12,5 tahun.
“Iya benar (Setya Novanto) bebas kemarin. Dia bebas bersyarat karena peninjauan kembalinya dikabulkan dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun,” ujar Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Jawa Barat, Kusnali, pada Minggu, 17 Agustus 2025.
Kusnali menjelaskan, Setnov berhak atas pembebasan bersyarat karena telah menjalani lebih dari dua pertiga masa hukumannya, sebagaimana diatur dalam peraturan pemasyarakatan.
“Dihitung dua per tiganya itu mendapat pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025,” tambahnya. Meski bebas, Setnov tetap wajib melapor secara berkala sebagai bagian dari syarat bebas bersyarat.
Perjalanan Hukum Setya Novanto
Kasus korupsi E-KTP yang menjerat Setnov menjadi salah satu skandal terbesar di Indonesia, menyeret sejumlah nama besar di dunia politik. Hukuman Setnov seharusnya berakhir pada 2028 atau 2029, namun pengurangan masa tahanan melalui remisi dan putusan PK mempercepat kebebasannya.
“Setnov menjalani hukuman sejak 2017 dan senantiasa ada pengurangan remisi. Dia sudah keluar sebelum pelaksanaan 17 Agustus. Jadi, dia enggak dapat remisi 17 Agustus,” tutup Kusnali.
Pembebasan ini juga mencuri perhatian karena diduga melibatkan peran agen FBI dalam proses pengurangan hukuman, meski rincian lebih lanjut belum diungkap. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya menyatakan keberatan atas putusan PK ini, menyebutnya sebagai kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Reaksi dan Kontroversi
Keputusan pembebasan bersyarat Setnov memicu beragam reaksi di masyarakat. Banyak pihak mempertanyakan efektivitas hukuman bagi pelaku korupsi kelas kakap, terutama mengingat dampak besar kasus E-KTP terhadap keuangan negara. Meski demikian, aturan pemasyarakatan yang berlaku menjadi dasar hukum yang memungkinkan Setnov mendapatkan keringanan ini.
Pembebasan bersyarat ini juga bertepatan dengan momen menjelang peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI, menambah sorotan publik terhadap langkah hukum ini. Setya Novanto kini kembali menjadi sorotan, bukan hanya karena kasusnya yang fenomenal, tetapi juga karena dinamika hukum yang terus memicu diskusi di ranah publik.
Konteks Hukum dan Pembebasan Bersyarat
Menurut peraturan pemerintah, narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa hukuman dan memenuhi syarat administratif, seperti pembayaran denda, berhak mengajukan bebas bersyarat.
Dalam kasus Setnov, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto, memastikan bahwa semua prosedur telah dipenuhi, termasuk pembayaran denda.
“Denda subsidier sudah dibayar. Putusan PK kan kalau nggak salah. Putusan peninjauan kembali kepada yang bersangkutan dikurangi masa hukumannya,” ungkap Agus di Jakarta, Minggu, 17 Agustus 2025.
Keputusan ini menambah daftar panjang narapidana korupsi yang mendapatkan keringanan hukuman di Indonesia, sekaligus memicu pertanyaan tentang konsistensi penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi.




