JAKARTA – Tan Joe Hok, yang juga dikenal dengan nama Hendra Kartanegara, adalah tokoh sentral dalam kebangkitan bulutangkis Indonesia.
Ia bukan sekadar peraih gelar, melainkan pilar pertama yang mengangkat nama Indonesia ke panggung dunia melalui olahraga.
Dari awal karier yang penuh keterbatasan, ia menjelma menjadi simbol kejayaan dan kebanggaan nasional.
Sosoknya telah mengilhami generasi demi generasi pebulutangkis Tanah Air.
Kemenangan monumental di ajang All England 1959 menjadi momen emas dalam kariernya.
Kala itu, Tan Joe Hok mencatat sejarah sebagai orang Indonesia pertama yang menjuarai nomor tunggal putra di ajang bergengsi dan tertua (1899) tersebut.
Pertarungan final yang mempertemukannya dengan sesama pemain Indonesia, Ferry Sonneville, berakhir dramatis dengan skor 15-10, 8-15, 15-8.
Momen itu menandai lahirnya era baru: bahwa atlet Indonesia mampu menembus dominasi dunia.
Namun sebelum semua kejayaan itu, ia telah menorehkan prestasi luar biasa dalam Piala Thomas 1958.
Bergabung dalam tim yang dijuluki “The Magnificent Seven”, Tan tampil garang dengan rekor tak terkalahkan.
Salah satu laga paling dikenang adalah saat ia menumbangkan Erland Kops, juara All England, hanya dalam dua gim.
Gelar “The Giant Killer” pun melekat padanya berkat kemenangan-kemenangan spektakuler melawan pemain unggulan dunia.
Kemilau Emas di Rumah Sendiri dan Dominasi Global
Asian Games 1962 menjadi ajang pembuktian berikutnya.
Bermain di depan publik Jakarta, Tan Joe Hok mempersembahkan dua medali emas dan satu perak.
Termasuk kemenangan atas Teh Kew San dari Malaysia di sektor tunggal putra.
Momen ini mempertegas statusnya sebagai ikon olahraga nasional.
Di level internasional, dominasi Tan tak terhenti. Ia menyapu bersih gelar US Open dan Canadian Open pada 1959–1960.
Bahkan saat diserang flu berat dalam US Open 1959, ia tetap tak tergoyahkan dan mengalahkan Fred Trifonoff dengan skor telak 15-3, 15-2.
Media dunia, termasuk Sports Illustrated, menjuluki Tan sebagai pemain komplet dengan teknik nyaris sempurna, footwork lincah, dan semangat juang tanpa henti.
Setia pada Tanah Air, Teguh dalam Prinsip
Meski namanya besar, Tan Joe Hok tetap rendah hati.
Ia tak hanya mengukir prestasi, tetapi juga memupuk integritas.
Sebagai keturunan Tionghoa yang mengalami diskriminasi di masa Orde Baru, ia memilih tetap membela Merah Putih.
Saat ditawari pindah kewarganegaraan, jawabannya sederhana namun menggugah, “Jiwa saya Indonesia.”
Ia juga aktif memperjuangkan kesetaraan etnis Tionghoa dan mendukung hak-hak budaya seperti perayaan Imlek.
Konsistensinya memperlihatkan bahwa nasionalisme tak sekadar lewat bendera, melainkan lewat tindakan nyata yang berdampak panjang.
Warisan Tak Lekang Zaman
Usai pensiun, kontribusinya tidak berhenti. Ia melatih di luar negeri, lalu kembali ke Indonesia menjadi pelatih di PB Djarum dan pelatnas Piala Thomas 1984.
Di bawah arahannya, Indonesia kembali menjuarai Piala Thomas, kali ini menumbangkan Tiongkok.
Sebagai pelatih, ia diganjar penghargaan SIWO/PWI Jaya sebagai Pelatih Terbaik 1984.
Kisah unik masa kecil Tan Joe Hok pun menyentuh hati: ia mengawali kariernya dengan raket pinjaman dan sepatu bakiak.
Dari sana, kerja keras dan bakat membawanya ke puncak dunia.
Akhir Perjalanan Sang Legenda
Tan Joe Hok wafat pada 2 Juni 2025 dalam usia 87 tahun. Kepergiannya menyisakan duka mendalam sekaligus kebanggaan.
PBSI menyebutnya sebagai tokoh yang “warisannya akan abadi.” Kini, film biografi berjudul “Tan” tengah diproduksi sebagai bentuk penghormatan atas perjuangannya.
Meski menolak gelar pahlawan, Tan tetap dikenang sebagai pionir sejati.
Saat menerima penghargaan Empu Bulutangkis dari MURI pada 2015, ia membaginya untuk rekan-rekannya yang telah tiada. Sikapnya menegaskan bahwa kejayaan bukan milik individu, tapi hasil kerja bersama.
Tan Joe Hok bukan sekadar nama dalam sejarah bulutangkis. Ia adalah semangat, ketekunan, dan keberanian yang menembus batas-batas zaman.
Dari lapangan sederhana hingga pentas dunia, ia telah meninggalkan jejak yang akan terus dikenang oleh bangsa ini.***