JAKARTA – Ketentuan usia pensiun prajurit TNI dinilai perlu disesuaikan dengan kebutuhan politik, profesionalisme, dan dinamika pertahanan nasional.
Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Laksono, menegaskan bahwa revisi Undang-Undang TNI harus mencerminkan realitas strategis serta mempertahankan kualitas dan kesiapan militer Indonesia.
Politisi Partai Golkar itu menyatakan bahwa profesionalisme TNI adalah kunci utama dalam menjaga keutuhan, kedaulatan, dan keamanan negara.
“Oleh karena itu, revisi Undang-Undang TNI harus mempertimbangkan faktor usia pensiun prajurit guna memastikan efektivitas dan kesiapan tempur yang optimal,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Selasa (11/3/2025).
Dalam revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, salah satu poin utama yang dibahas adalah Pasal 53 mengenai batas usia dinas keprajuritan.
Usia pensiun perwira diusulkan naik dari 58 tahun menjadi 62 tahun, sementara bintara dan tamtama dari 53 tahun menjadi 58 tahun.
Usulan ini didasarkan pada kebutuhan peningkatan sumber daya manusia yang berpengalaman serta penyesuaian dengan standar global.
Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin menambahkan bahwa perubahan ini bertujuan untuk memperkuat sistem pertahanan negara, meningkatkan efisiensi penggunaan alutsista, serta mengatur batasan keterlibatan TNI di kementerian dan lembaga negara.
Selain itu, revisi ini juga mengakomodasi kesejahteraan prajurit serta menyesuaikan jenjang karir mereka agar tetap relevan dengan tantangan zaman.
“Penyesuaian usia pensiun ini merupakan bagian dari strategi besar dalam membangun postur pertahanan yang lebih kuat dan adaptif,” pungkasnya.
DPR dan pemerintah akan terus membahas revisi ini dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampaknya terhadap regenerasi kepemimpinan dalam tubuh TNI.
Keputusan final diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan nasional tanpa mengorbankan efektivitas operasional militer.***