JAKARTA – Ketua DPR RI, Puan Maharani, menekankan urgensi perlindungan maksimal bagi korban dalam kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja. Ia menilai hukuman berat layak diberikan kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
“Penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan terhadap anak menjadi sebuah keniscayaan. Kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan yang sangat luar biasa sehingga harus ada hukuman berat dan tidak boleh ada toleransi sedikitpun,” ujar Puan Maharani dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (15/3/2025).
Kasus ini mencuat setelah Kepolisian Federal Australia (AFP) menemukan video yang diduga direkam oleh Fajar, menampilkan aksi pencabulan terhadap anak di bawah umur.
Video tersebut diunggah dari Kota Kupang, NTT, pada pertengahan tahun 2024. AFP kemudian melaporkan temuan ini kepada otoritas Indonesia.
Setelah penyelidikan, Fajar diduga melakukan kekerasan seksual terhadap tiga anak di bawah umur dan satu orang dewasa.
Ia juga diduga merekam, menyimpan, memposting, dan menyebarluaskan video pelecehan seksual tersebut. Selain itu, Fajar juga dinyatakan sebagai pengguna narkoba usai dites urine.
Puan menyoroti bahwa kasus ini menambah daftar panjang kejahatan seksual di Indonesia dan menekankan pentingnya negara memberikan perlindungan maksimal bagi para korban serta memastikan pencegahan agar peristiwa serupa tidak terulang.
Ia juga meminta penegak hukum beserta pemangku kepentingan terkait untuk menjamin perlindungan bagi para korban dalam kasus kekerasan seksual tersebut.
“Jika negara gagal memberikan keadilan bagi korban dan tidak serius dalam upaya pencegahan, maka kasus serupa akan terus terulang,” sebut politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Saat ini, Fajar ditahan di Bareskrim Polri dan telah dicopot dari jabatannya, meskipun masih belum dipecat dari institusi Polri. Bareskrim Polri memastikan hukuman Fajar diperberat karena menyangkut eksploitasi seksual terhadap anak.
Puan mendukung langkah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Kementerian Sosial (Kemensos) yang melakukan pendampingan bagi para korban. Ia juga mengimbau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk ikut turun memberikan pendampingan.
“Korban harus mendapatkan layanan pemulihan trauma secara komprehensif. Anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual harus diberikan terapi psikososial untuk membantu mereka pulih dari dampak psikologis,” terang Puan.
Puan menekankan bahwa perlindungan terhadap anak dan perempuan harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan negara, bukan sekadar wacana tanpa tindakan nyata.
Ia juga mengingatkan bahwa mayoritas korban pada kasus ini adalah anak-anak yang masih dalam usia rentan dan berpotensi mengalami trauma jangka panjang akibat perbuatan pelaku.
“Saya tidak bisa membayangkan pilu yang dirasakan anak-anak ini. Bagaimana bisa orang dewasa yang harusnya melindungi dan menjaga mereka, justru melakukan kejahatan luar biasa yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan,” tutur ibu dua anak itu.
Puan memastikan DPR bekerja sama dengan pemerintah akan terus berupaya memperkuat kebijakan perlindungan anak dan perempuan. Ia mengajak semua pihak untuk bersama-sama membawa Indonesia agar terbebas dari aksi kekerasan seksual, khususnya pada perempuan dan anak.
“Tentunya untuk memerangi kekerasan seksual dibutuhkan kerja bersama dari semua pihak, termasuk dari berbagai elemen bangsa dan masyarakat itu sendiri. Mari bersama membawa Indonesia agar terbebas dari aksi kekerasan seksual, khususnya pada perempuan dan anak,” tutupnya.***