GAZA, PALESTINA – Kelompok Hamas menyatakan sedang mengkaji serius proposal perdamaian dari Amerika Serikat (AS) yang diajukan untuk mengakhiri konflik di Jalur Gaza. Proposal 20 poin yang disampaikan melalui mediator Qatar dan Mesir itu menjanjikan gencatan senjata instan dan pembebasan sandera Israel jika disetujui.
Namun, di tengah kehancuran akibat perang yang berkepanjangan sejak 2023, banyak warga Gaza justru menyambut rencana ini dengan skeptis. Mereka menilai proposal lebih menguntungkan Israel dan mengabaikan penderitaan rakyat Palestina yang terjebak dalam krisis kemanusiaan parah.
Proposal tersebut diumumkan Presiden AS Donald Trump dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih, Senin (29/9) waktu setempat. Sehari setelahnya, Hamas mengonfirmasi telah menerima dokumen di Doha dan akan memberikan tanggapan resmi setelah melakukan kajian mendalam.
Isi Proposal, Gaza Didemiliterisasi, Hamas Dikecualikan
Proposal AS mencakup sejumlah poin utama, di antaranya:
- Gencatan senjata segera setelah penandatanganan.
- Pembebasan seluruh sandera Israel dalam waktu 72 jam.
- Demiliterisasi total Gaza.
- Pengelolaan wilayah oleh komite transisi teknokrat Palestina dan pakar internasional.
- Pengecualian Hamas dari pemerintahan apa pun di masa transisi.
- Pembentukan dewan pengawas internasional di bawah koordinasi langsung Presiden AS.
Trump menyatakan proposal ini telah mendapat dukungan penuh dari Israel, Mesir, dan Qatar. Netanyahu menilai inisiatif itu sebagai pencapaian strategis untuk Israel karena mengakomodasi tuntutan utama: kembalinya sandera, pelucutan senjata Hamas, serta diakhirinya kehadiran politik kelompok tersebut di Gaza.
“Jika Hamas menolak kesepakatan ini, Israel akan menyelesaikan tugasnya sendiri,” kata Netanyahu.
Trump menambahkan, “Kami akan memberikan dukungan penuh bagi Israel dalam skenario tersebut.”
Warga Gaza Ragukan Motif AS
Di sisi lain, sebagian besar warga Gaza mengaku pesimistis terhadap rencana tersebut. Mereka menilai proposal tidak menyentuh akar persoalan seperti hak kembali pengungsi, pemulihan infrastruktur, nasib tahanan Palestina, serta jaminan keamanan dan kesejahteraan warga sipil.
Alaa Al-Ashqar, pengungsi dari Kota Gaza yang kehilangan rumah dan bengkel akibat serangan udara, menyebut proposal itu sebagai “penyerahan sepihak”.
“Trump hanya melayani kepentingan Israel. Dulu dia pernah umumkan gencatan senjata, tapi bom tetap jatuh di kepala kami,” ujarnya.
Hal serupa diungkapkan Ahmed Matar, mantan pengacara yang kini menjadi pedagang kaki lima di Deir al-Balah.
“Ini bukan perdamaian, tapi legitimasi untuk memperpanjang perang. Tanpa pembukaan lintas batas dan penarikan pasukan, semua ini hanya ilusi,” katanya.
Zakaria Obaid, pengungsi asal Khan Younis, menambahkan bahwa janji AS tidak akan berarti jika tidak ada perubahan konkret di lapangan.
“Kami hidup tanpa listrik, air, atau makanan. Sementara para politisi bicara dari ibu kota,” ujarnya.
Krisis Kemanusiaan Memburuk, Warga Terdesak
Data PBB mencatat lebih dari 1,9 juta penduduk Gaza mengungsi sejak perang meletus. Sebagian besar tinggal di tenda atau tempat penampungan darurat dengan akses terbatas terhadap makanan, air bersih, listrik, dan layanan kesehatan.
Anak-anak, lansia, dan kelompok rentan disebut berada dalam kondisi kritis akibat kelangkaan pasokan dasar. Proposal AS datang di tengah tekanan internasional untuk menghentikan kekerasan, namun belum mampu membalikkan skeptisisme warga yang merasa dikesampingkan dari proses perdamaian.
Respons Hamas Ditunggu, Masa Depan Gaza Masih Abu-abu
Hingga laporan ini diterbitkan, Hamas belum mengeluarkan tanggapan resmi atas proposal damai tersebut. Namun sejumlah analis memperkirakan kelompok itu akan menolak jika syarat demiliterisasi dianggap melemahkan posisi perjuangan Palestina.
Sementara itu, Israel menegaskan tidak akan menunggu lama. Netanyahu menegaskan Israel akan terus melanjutkan operasi militer jika Hamas menolak kesepakatan.
Trump, yang menyebut dirinya sebagai arsitek perdamaian Timur Tengah, mengatakan inisiatif ini adalah “kesempatan terakhir” bagi Gaza untuk keluar dari konflik berkepanjangan.




