JAKARTA – Di tengah ketegangan politik yang mengakar dalam gerakan MAGA (Make America Great Again / basis pendukung setia Trump), Presiden AS Donald Trump dilaporkan tengah mengatur strategi rahasia guna meredam konflik internal para pendukungnya sekaligus merancang langkah lanjutan terhadap situasi memanas konflik Iran-Israel.
Menyusul serangan militer Israel terhadap Iran pada Kamis lalu, sejumlah tokoh konservatif yang dekat dengan Trump secara terbuka menyampaikan kekesalan mereka, menganggap langkah tersebut sebagai penyimpangan dari janji Trump untuk menghindari keterlibatan Amerika Serikat dalam perang di Timur Tengah.
Mantan pembawa acara Fox News, Tucker Carlson, menjadi salah satu sosok vokal yang mempertanyakan dukungan Trump terhadap operasi Israel.
Dalam buletin yang diterbitkan Senin, ia menyatakan bahwa “banyak di gerakan MAGA Trump tidak senang” dan menyebut keterlibatan Trump sebagai bagian dari “tindakan perang” yang dilakukan AS, meskipun Gedung Putih menyatakan tidak terlibat langsung.
Trump kini dihadapkan pada dilema internal: mempertahankan kohesi basis pendukungnya atau mengambil langkah strategis yang berpotensi memicu keterlibatan lebih jauh AS di wilayah rawan.
Melansir Mail Online Kamis (19/6/2025), perpecahan ini membuat sejumlah sekutu utamanya mulai mempertimbangkan kembali arah koalisi menjelang pemilihan presiden 2024.
Strategi Damai di Tengah Konflik Internal
Selama seminggu terakhir, Trump berupaya menenangkan retorika keras dari tokoh-tokoh seperti Carlson dan Steve Bannon, dua figur penting dalam gerakan populis yang selama ini menjadi corong loyalis MAGA.
Dalam penampilannya di podcast masing-masing pada Senin lalu, keduanya mengekspresikan kekhawatiran bahwa keterlibatan militer yang diperluas ke Iran bisa menjadi “perang selamanya” yang berpotensi menggagalkan ambisi politik Trump untuk kembali ke Gedung Putih.
Namun, menurut sumber yang mengetahui dinamika di lingkar dalam, pendekatan diam-diam Trump mulai membuahkan hasil.
Pada Rabu, Bannon mengakui bahwa kemungkinan dukungan terhadap aksi militer di Iran bisa meningkat—asal Trump mampu meyakinkan rakyat Amerika.
Di saat yang sama, Trump juga menyampaikan kepada wartawan bahwa Carlson telah menghubunginya secara pribadi untuk menyampaikan permintaan maaf.
“Tucker orang yang baik. Dia menelepon dan meminta maaf beberapa hari lalu karena dia merasa telah mengatakan hal-hal yang sedikit terlalu keras, dan saya menghargai itu,” ujar Trump dari Oval Office.
Elit Republik dan Dinamika Dukungan Internal
Sementara Trump sibuk meredam perbedaan pandangan di lingkar dalam MAGA, sejumlah elit Partai Republik yang pro-intervensi mulai menyerang posisi Bannon dan Carlson, menyebut mereka sebagai kaum “isolationist” yang mengabaikan ancaman nyata terhadap keamanan nasional.
Kritik serupa juga diarahkan pada Direktur Intelijen Nasional Tulsi Gabbard, yang menuai kontroversi setelah merilis video yang memperingatkan publik AS tentang ancaman kehancuran nuklir yang semakin dekat.
Pernyataan itu membuat geram sebagian besar pendukung intervensi, yang menganggap video tersebut sebagai bentuk alarmisme yang merugikan narasi resmi.
Namun, Wakil Presiden JD Vance membela Gabbard dengan tegas:
“Dia adalah anggota penting dari tim keamanan nasional kami, dan kami bersyukur atas kerja kerasnya untuk menjaga Amerika aman dari ancaman asing,” ujarnya, menyebut Gabbard sebagai veteran dan patriot yang loyal terhadap kepemimpinan Trump.
Menuju Titik Kritis: War Room dan Ultimatum untuk Iran
Pada hari Rabu, Trump menyatakan belum mengambil keputusan final terkait penggunaan kekuatan militer AS terhadap Iran, namun mengisyaratkan bahwa diskusi serius akan dilakukan di Situation Room dalam pertemuan ‘War Room’ bersama para penasihat pertahanan dan keamanan nasional.
Sebelumnya, Trump telah mengindikasikan bahwa batas kesabarannya terhadap rezim Teheran mulai menipis.
“Kesabaran sudah habis,” katanya. “Mereka punya waktu 60 hari … cukup waktu, dan mereka membuat kesalahan.”
Pernyataan tersebut memperkuat sinyal bahwa Trump siap mengambil tindakan lebih tegas jika diplomasi gagal, sekaligus menguji kekompakan koalisi politik yang tengah ia bangun menjelang Pilpres 2024.***