JAKARTA – Badan Gizi Nasional (BGN) melaporkan total 5.914 kasus dugaan keracunan yang sebagian besar menimpa anak sekolah, terkait konsumsi Makanan Bergizi Gratis (MBG) sejak Januari hingga September 2025.
Berdasarkan evaluasi awal, mayoritas kasus disebabkan oleh kontaminasi bakteri seperti E. Coli dan Salmonella, serta ketidakpatuhan terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam penanganan dan distribusi makanan.
Peningkatan signifikan terjadi dalam dua bulan terakhir, dengan jumlah kasus tertinggi dilaporkan di beberapa daerah seperti Kota Bandar Lampung (503 kasus), Kabupaten Lebong, Bengkulu (467 kasus), serta wilayah lain termasuk Bandung Barat, Banggai Kepulauan, dan Kulon Progo.
BGN memastikan bahwa seluruh biaya penanganan medis akan ditanggung oleh pihak lembaga, termasuk bagi keluarga yang terdampak.
Tren Kenaikan Kasus Keracunan MBG
Program MBG yang dirancang untuk mendukung pemenuhan gizi anak usia sekolah mengalami tantangan signifikan dalam implementasinya di lapangan. Data BGN menunjukkan peningkatan jumlah kasus dari waktu ke waktu. Pada Januari tercatat 94 kasus dari 3 kejadian, sedangkan Februari meningkat menjadi 496 kasus dari 4 insiden. Tidak ditemukan laporan kasus pada Maret dan Juni, namun pada April dan Mei masing-masing tercatat 313 dan 433 kasus.
Peningkatan terbesar terjadi pada Agustus dengan 1.988 kasus dari 40 insiden, diikuti oleh September yang mencatat 2.210 kasus dari 45 kejadian. Salah satu kasus menonjol terjadi pada 23 Mei 2025 di sebuah sekolah di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, di mana terdapat indikasi awal kontaminasi dari aroma makanan yang tidak normal.
Identifikasi Penyebab dan Evaluasi Internal
Hasil evaluasi laboratorium menunjukkan adanya kontaminasi mikrobiologis pada sejumlah sampel makanan dan bahan baku yang digunakan, termasuk kehadiran bakteri patogen seperti E. Coli, Staphylococcus Aureus, Salmonella, Bacillus Cereus, Coliform, serta mikroorganisme lain seperti Klebsiella dan Proteus. Kontaminasi dapat terjadi pada berbagai titik, mulai dari bahan baku, air, proses pengolahan, hingga distribusi dan penyimpanan.
Selain faktor biologis, BGN juga mencatat bahwa sebagian kasus berkaitan dengan faktor alergi serta gangguan non-makanan lainnya, meskipun dalam persentase yang lebih kecil. Wakil Kepala BGN, Nanik S. Deyang, menyampaikan bahwa sebagian besar insiden berhubungan dengan ketidaksesuaian terhadap SOP oleh berbagai pihak terkait, termasuk mitra pelaksana dan unsur internal.
“BGN berkomitmen untuk melakukan perbaikan menyeluruh dan memastikan setiap langkah dalam rantai pasok makanan bergizi mengikuti standar yang telah ditetapkan,” ujar Nanik dalam konferensi pers pada Jumat, 26 September 2025.
Ia juga menegaskan bahwa BGN akan menanggung seluruh biaya pengobatan bagi penerima manfaat yang terdampak, termasuk anggota keluarga yang turut mengonsumsi makanan tersebut.
Langkah Penanganan dan Pencegahan Ke Depan
Sebagai bagian dari langkah pemulihan, BGN telah mengeluarkan pernyataan resmi, memperkuat pengawasan terhadap mitra pelaksana, serta melakukan audit mendadak dan pelatihan ulang SOP. Pengujian laboratorium secara berkala akan diterapkan pada seluruh batch makanan yang akan didistribusikan.
BGN juga mengimbau pemerintah daerah untuk memperkuat koordinasi lintas sektor dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus serupa. Para ahli gizi dan kesehatan masyarakat menekankan pentingnya penerapan prinsip traceability dalam rantai distribusi pangan, guna menjamin keamanan dan kualitas program MBG.
BGN berharap bahwa langkah-langkah strategis yang tengah dijalankan dapat menekan angka kejadian di sisa tahun 2025, dan memastikan program MBG kembali berjalan sesuai tujuan utamanya: mendukung pemenuhan gizi anak-anak Indonesia secara aman dan berkelanjutan.




