TEL AVIV, ISRAEL – Israel menerbitkan obligasi senilai USD5 miliar atau setara Rp82 triliun di Amerika Serikat dalam 20 bulan terakhir, rekor tertinggi sejak konflik Gaza meletus pada Oktober 2023. Dana tersebut dialokasikan untuk membiayai operasi militer yang terus berlangsung di Jalur Gaza.
Konflik di Gaza yang dipicu serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 menewaskan sekitar 1.200 orang, memaksa Israel meningkatkan pengeluaran militernya. Serangan balasan Israel dilaporkan menewaskan lebih dari 54.000 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, serta menyebabkan krisis kemanusiaan yang mengancam kelaparan massal, menurut peringatan PBB.
“Dampak ekonomi perang Israel yang sedang berlangsung di Gaza mencapai sekitar 250 miliar shekel (USD67,57 miliar) atau setara Rp1.102 triliun pada akhir tahun,” tulis surat kabar keuangan Calcalist. Besarnya beban finansial tersebut mendorong Israel mencari pendanaan alternatif melalui pasar obligasi internasional.
Israel Bonds, pialang obligasi pemerintah Israel yang berbasis di AS, menargetkan investor lokal dan ritel dengan produk obligasi mulai dari USD36. Strategi ini berhasil meningkatkan penjualan obligasi di tengah kebutuhan dana yang meningkat. Bloomberg melaporkan, “Israel Bonds telah menjual utang senilai USD5 miliar dalam dua puluh bulan terakhir.”
Obligasi tersebut diterbitkan dalam dua tahap, masing-masing sebesar USD2,5 miliar dengan tenor lima dan sepuluh tahun. Obligasi lima tahun dihargai dengan spread 120 basis poin dan obligasi sepuluh tahun 135 basis poin di atas Treasury AS, menurut sumber yang mengetahui transaksi.
Selain beban militer, Israel juga menghadapi masalah ekonomi lain seperti utang listrik Otoritas Palestina sebesar Rp8,4 triliun kepada Israel Electric Co (IEC). Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, berencana menggunakan pendapatan pajak Palestina untuk melunasi utang ini, langkah yang memicu kontroversi.
Utang nasional Israel melonjak hingga Rp695,61 triliun akibat konflik dengan Hamas. Pemerintah bahkan merekomendasikan penutupan enam kementerian pada 2023 untuk mengurangi defisit anggaran.
Penjualan obligasi ini menunjukkan ketergantungan Israel pada pasar keuangan AS demi menjaga stabilitas ekonomi di tengah konflik. Namun, hal ini juga memicu perhatian internasional, termasuk Dana Norwegia yang mempertimbangkan divestasi dari perusahaan terkait operasi Israel di wilayah Palestina.
Dengan penerbitan obligasi yang mencetak rekor, Israel berupaya menjaga likuiditas keuangannya di tengah tekanan ekonomi dan geopolitik. Namun, tantangan besar tetap ada, baik dari sisi kemanusiaan maupun stabilitas fiskal, yang akan menjadi sorotan dalam beberapa bulan ke depan.