JAKARTA – Dewan Pers tengah mengkaji dugaan pelanggaran etik yang melibatkan Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar (TB), yang menjadi tersangka dalam kasus obstruction of justice di Kejaksaan Agung. Bersama dua tersangka lainnya, Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS), keduanya adalah advokat, TB diduga berperan dalam menyebarkan narasi negatif melalui pemberitaan mengenai sejumlah kasus korupsi yang tengah ditangani Kejaksaan Agung, termasuk kasus korupsi timah, impor gula, dan fasilitas ekspor CPO.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menjelaskan bahwa pihaknya akan mengumpulkan artikel-artikel yang diduga digunakan untuk memanipulasi opini publik. “Kami akan menilai apakah pemberitaan tersebut memenuhi standar kode etik jurnalistik,” ungkapnya usai audiensi dengan Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin, di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (22/4/2025), dilansir dari Antara.
Ninik menambahkan, Dewan Pers tidak akan mengintervensi proses hukum yang berjalan, namun pihaknya akan menilai apakah tindakan yang dilakukan oleh JAK TV terkait pemberitaan tersebut melanggar kode etik jurnalistik.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menegaskan bahwa perbuatan TB dalam kasus obstruction of justice adalah tindakan pribadi, yang tidak mencerminkan sikap lembaga. Harli juga menegaskan bahwa Kejaksaan tidak anti-kritik, tetapi yang menjadi masalah adalah adanya konspirasi yang bertujuan untuk mendiskreditkan Kejaksaan Agung dan memengaruhi proses hukum.
Kasus ini bermula ketika MS dan JS diduga mengarahkan TB untuk membuat pemberitaan negatif tentang Kejaksaan Agung, terkait penyidikan kasus-kasus korupsi. Sebagai imbalannya, TB menerima sejumlah uang sebesar Rp478.500.000, yang kemudian digunakan untuk mempublikasikan berita tersebut melalui media sosial dan JAK TV News. Selain pemberitaan, MS dan JS juga mendanai demonstrasi dan acara yang mendukung narasi negatif tersebut.
Ketiga tersangka kini dijerat dengan Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.