JAKARTA – Penetapan tersangka Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar, oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) menuai sorotan tajam dari berbagai elemen. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menilai Kejagung seharusnya berkoordinasi dengan Dewan Pers sebelum mengambil langkah hukum terhadap insan pers.
Tian Bahtiar, bersama dua advokat, Marcella Santoso dan Junaedi Saibih, ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung pada Senin (21/4/2025). Ketiganya diduga terlibat dalam kasus perintangan penyidikan (obstruction of justice) terkait penanganan perkara korupsi tata niaga timah di PT Timah Tbk dan impor gula yang menyeret nama Tom Lembong.
Menurut Kejagung, mereka bersekongkol untuk menciptakan narasi negatif melalui pemberitaan yang bertujuan melemahkan proses hukum yang sedang berjalan. Tian Bahtiar disebut menerima dana sebesar Rp478,5 juta dari kedua advokat untuk memproduksi konten dan berita yang menyudutkan Kejagung. Konten tersebut disebarkan melalui platform Jak TV, media sosial, hingga acara talk show dan seminar di sejumlah kampus.
“Tersangka MS dan JS mengorder tersangka TB untuk membuat berita-berita negatif dan konten-konten negatif yang menyudutkan Kejaksaan terkait dengan penanganan perkara a quo baik di penyidikan, penuntutan, maupun di persidangan,” ungkap Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers.
IJTI: Pemberitaan Harus Lewat Dewan Pers
IJTI langsung bereaksi keras terhadap penetapan tersangka ini. Dalam pernyataan resminya, IJTI menegaskan bahwa jika dasar penetapan tersangka adalah produk pemberitaan, Kejagung wajib berkoordinasi dengan Dewan Pers terlebih dahulu. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyebutkan bahwa sengketa jurnalistik harus diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers, bukan jalur pidana.
“Jika yang menjadi dasar penetapan tersangka adalah produk pemberitaan, maka Kejaksaan Agung seharusnya terlebih dahulu berkoordinasi dengan Dewan Pers,” tegas IJTI dalam siaran persnya pada Selasa (22/4/2025). IJTI khawatir langkah Kejagung ini bisa menjadi preseden buruk yang mengancam kebebasan pers dan independensi jurnalistik di Indonesia.
Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan, menambahkan bahwa pemberitaan yang kritis merupakan bagian dari fungsi kontrol sosial pers yang dilindungi undang-undang. “Langkah pemidanaan terhadap jurnalis atau media tanpa dasar yang jelas dan tanpa prosedur adalah ancaman terhadap demokrasi,” ujarnya. IJTI juga berencana berkoordinasi dengan Dewan Pers untuk memastikan perlindungan terhadap kerja jurnalistik tetap terjaga.
Tanggapan Kejagung dan Dewan Pers
Kejagung membantah bahwa penetapan tersangka Tian Bahtiar berkaitan dengan aktivitas jurnalistik. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa kasus ini murni soal perbuatan pribadi Tian, bukan aktivitas media.
“Ada rekayasa di situ, dan setelah mendapat penjelasan-penjelasan itu tentu terkait dengan penegakan hukum, Dewan Pers sangat menghormati itu,” kata Harli usai bertemu dengan Dewan Pers pada Selasa (22/4/2025).
Sementara itu, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyatakan pihaknya tidak akan ikut campur dalam proses hukum yang sedang berjalan. Namun, Dewan Pers akan memeriksa konten pemberitaan Jak TV untuk menilai apakah ada pelanggaran kode etik jurnalistik.
“Berita-berita itulah yang nanti akan kami nilai apakah secara substansial atau secara prosedural itu menggunakan parameter kode etik jurnalistik atau bukan,” ujar Ninik.
Dampak dan Kontroversi
Kasus ini memicu perdebatan sengit di kalangan jurnalis dan pegiat kebebasan pers. Banyak yang khawatir langkah Kejagung bisa menjadi alat untuk membungkam media yang kritis terhadap penegakan hukum. Di sisi lain, Kejagung bersikukuh bahwa kasus ini bukan soal pemberitaan, melainkan dugaan permufakatan jahat yang melibatkan penyalahgunaan wewenang.
IJTI menyerukan kepada seluruh insan pers untuk tetap menjaga etika jurnalistik dan independensi dalam bertugas. “Di saat yang sama, kami meminta aparat penegak hukum untuk menghormati kemerdekaan pers,” tutup IJTI dalam pernyataannya.