JAKARTA — Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede menyoroti kondisi pasar modal Indonesia pasca pengumuman kebijakan tarif impor baru Presiden AS Donald Trump atau tarif “Liberation Day”.
Ia memandang, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) IHSG yang hanya melemah -7,9% sejak pengumuman kebijakan itu pada 2 April sampai penutupan pasar tanggal 8 April kemarin, menunjukkan pasar modal Indonesia tidak terlalu buruk dibanding negara lain.
“Pasar modal Indonesia relatif lebih tangguh dibandingkan banyak negara lain, termasuk Italia, Argentina, Vietnam, Prancis, Singapura, dan bahkan Amerika Serikat sendiri yang mencatat penurunan -10,7% dalam periode yang sama,” ucap Josua kepada wartawan, Rabu (9/4).
Hal ini memberikan indikasi bahwa pasar merespons secara relatif positif terhadap kondisi ekonomi domestik Indonesia, yang dinilai lebih resilien di tengah guncangan eksternal global.
Salah satu alasan utama menurut Josua, di balik ketahanan relatif IHSG ialah rendahnya eksposur langsung Indonesia terhadap pasar AS. Josua mengungkapkan, nilai ekspor Indonesia ke AS hanya berkontribusi sekitar 2,2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai ini jauh lebih kecil jika dibandingkan negara seperti Vietnam yang nilainya 33%.
“Ini memberikan fleksibilitas lebih besar bagi Indonesia dalam menyikapi kebijakan proteksionis AS, serta mengurangi dampak langsung terhadap perekonomian secara keseluruhan,” paparnya.
Meski demikian Josua menyampaikan, pelemahan IHSG tetap dapat diartikan adanya tekanan dan ketidakpastian global, terutama terkait dengan potensi perlambatan ekonomi dunia, disrupsi rantai pasok, dan depresiasi rupiah akibat dari capital outflow dan tekanan terhadap aset berisiko.
“Namun, dibandingkan negara lain yang mengalami koreksi lebih dalam, kinerja IHSG bisa dikatakan “tidak buruk” dan bahkan menjadi sinyal kepercayaan investor terhadap fondasi ekonomi Indonesia yang cukup kuat,” kata Josua.
Hal ini didukung oleh indikator makro seperti pertumbuhan kredit yang masih double digit (10,42%), kenaikan belanja domestik di Ramadan, dan posisi neraca perdagangan yang masih surplus. Menurutnya, pasar masih melihat Indonesia mempunyai daya tahan fundamental yang baik.
Tak hanya itu, Josua mengapresiasi langkah pemerintah dalam menanggapi tarif AS dengan mengambil strategi diplomasi, perluasan kerja sama dagang, dan deregulasi kebijakan impor. Sebab langkah tersebut turut andil dalam membantu menjaga kepercayaan pasar.
“Dengan demikian, meskipun kondisi pasar global sedang bergejolak akibat eskalasi perang dagang, respons pasar yang relatif stabil terhadap Indonesia mencerminkan persepsi bahwa perekonomian domestik tetap tangguh dan adaptif dalam menghadapi tekanan eksternal,” beber Josua menambahkan.***