JAKARTA – Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya untuk menangani disinformasi tanpa melakukan pemblokiran media sosial seperti yang dilakukan sejumlah negara. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan RI atau Presidential Communication Office of the Republic of Indonesia (PCO), Hasan Nasbi, menyatakan bahwa pendekatan Indonesia jauh lebih kompleks karena mempertahankan prinsip demokrasi dan kebebasan berekspresi.
“Di negara yang tidak terlalu peduli demokrasi, mereka blokir saja media sosial seperti Twitter, Instagram, atau TikTok. Kita tidak bisa begitu karena komitmen pada kebebasan berekspresi. Tapi, ada konsekuensinya, informasi buruk juga masuk,” ujar Hasan Nasbi, pada Talkshow Interaktif bertema “Bagaimana Menghadapi Medan Perang Baru: Cognitive Warfare, Media, Narasi, dan Membangun Persepsi”, Senin (16/6/2025), di ANTARA Heritage Center, Jakarta.
Ia menambahkan bahwa tantangan disinformasi di Indonesia lebih luas dari sekadar hoax. Fitnah, ujaran kebencian, dan clickbait juga menjadi perhatian utama yang ditangani secara selektif sesuai dengan dampaknya terhadap masyarakat.
“Kami punya keterbatasan sumber daya, jadi fokus pada disinformasi dengan dampak besar,” katanya.
Strategi Jangka Panjang
Dalam jangka panjang, pemerintah akan menekankan peningkatan literasi digital publik. Hasan menyebut bahwa masyarakat perlu sadar bahwa lebih dari 50 persen informasi di media sosial bisa saja tidak benar. Ia juga mendorong media arus utama untuk memperkuat mekanisme cek fakta.
“Penanganan disinformasi butuh langkah strategis, tidak instan,” pungkasnya.