JAKARTA – Nama Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), kembali menjadi sorotan publik setelah mencuat sebagai kandidat calon ketua umum (Caketum) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjelang Muktamar 2025. Namun, harapan sejumlah pihak agar Jokowi memimpin partai berlambang Ka’bah ini pupus setelah Ketua Majelis Pertimbangan PPP, Muhammad Romahurmuziy mengungkapkan bahwa Jokowi tidak berminat bergabung
“Jokowi ogah masuk partai,” ujar Rommy.
Rommy menegaskan sikap mantan presiden tersebut. Pernyataan ini sekaligus menjawab spekulasi yang berkembang di kalangan kader PPP yang melihat Jokowi sebagai figur potensial untuk membawa partai kembali berjaya di parlemen setelah kegagalan pada Pemilu 2024.
Manuver Politik PPP dan Wacana Tokoh Eksternal
Muktamar PPP yang dijadwalkan berlangsung pada Agustus atau September 2025 menjadi panggung politik yang dinanti. Partai ini tengah mencari sosok pemimpin baru yang mampu mengembalikan kejayaan PPP di kancah politik nasional. Selain Jokowi, sejumlah nama tokoh eksternal lain seperti Anies Baswedan, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, hingga eks Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Dudung Abdurachman juga masuk dalam bursa Caketum.
Rommy yang dikenal sebagai tokoh strategis di internal PPP, mendorong partainya untuk terbuka terhadap figur eksternal. “PPP harus fleksibel. Di samping internal, PPP harus membuka diri untuk sourcing Caketum dari luar partai,” katanya.
Ia menilai partai membutuhkan energi baru untuk “melompat” menuju kebangkitan, bukan sekadar berjalan. Langkah ini, menurut Rommy, telah disepakati mayoritas DPW PPP dalam Mukernas Desember 2024.
Namun, upaya Rommy menggaet tokoh eksternal menuai pro dan kontra. Wakil Ketua Umum PPP, Rusli Effendi, mengingatkan pentingnya menjaga Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai yang mengatur syarat kepemimpinan.
“Sangat tidak etis, seperti mengeksploitasi partai dan seolah-olah ini merupakan barang dagangan,” tegas Rusli, merujuk pada manuver Rommy.
Jokowi: Magnet Politik yang Kontroversial
Meski namanya kerap dikaitkan dengan berbagai partai, termasuk Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Golkar, Jokowi tampaknya memilih menjaga jarak dari dunia partai politik. Sejumlah analis menilai sikap Jokowi ini mencerminkan kehati-hatian dalam menentukan langkah politik pasca-masa jabatannya. Pengamat politik M. Jamiluddin Ritonga bahkan menyebutkan bahwa ideologi Jokowi yang cenderung nasionalis tidak sejalan dengan karakter religius PPP, sehingga peluangnya memimpin partai tersebut dinilai kecil.
Di sisi lain, sebagian elite PPP seperti Ade Irfan Pulungan melihat Jokowi sebagai figur yang disenangi kalangan ulama, dengan bukti pemilihan Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden di masa pemerintahannya. Namun, hingga kini belum ada respons resmi dari pengurus PPP terkait usulan Jokowi sebagai Caketum, menandakan bahwa wacana ini lebih banyak digulirkan oleh individu tertentu seperti Ade Irfan, ketimbang menjadi keputusan kolektif partai.
PPP di Persimpangan: Tantangan dan Harapan
Kegagalan PPP lolos ke parlemen pada Pemilu 2024 menjadi latar belakang utama dorongan untuk mencari pemimpin baru yang visioner. Nama-nama internal seperti Sandiaga Uno, Arwani Thomafi, dan Taj Yasin juga turut bersaing dalam bursa Caketum. Sementara itu, dinamika internal partai terus memanas, dengan sejumlah kader menyuarakan perlunya menjaga marwah PPP sebagai partai warisan ulama yang didirikan oleh tokoh-tokoh Islam seperti NU, Parmusi, Perti, dan PSII.
Di tengah spekulasi dan manuver politik, sikap Jokowi yang menolak bergabung dengan partai politik menjadi sinyal kuat bahwa ia ingin tetap independen. Apakah PPP akan menemukan pemimpin yang mampu membawa partai ini kembali ke parlemen? Hanya waktu yang akan menjawab, sementara Muktamar 2025 menjadi titik penentu arah masa depan partai berlambang Ka’bah ini.