JAKARTA – Pada penutupan perdagangan hari ini, Rabu (05/02/2022) kurs rupiah berada di level Rp16.292, menguat 58 poin (0,36 persen).
Kurs rupiah hari ini melanjutkan penguatan hari sebelumnya, dimana pada Selasa, ditutup pada level Rp16.351 per dolar AS, naik 97 poin atau 0,59 persen.
Tak cuma rupiah, sejumlah mata uang di kawasan juga terapresiasi atas dolar AS pada perdagangan hari ini.
Penguatan tertinggi terjadi pada yen Jepang menguat 0,75 persen, ringgit Malaysia 0,44 persen, peso Filipina 0,49 persen.
Selain itu, dolar Taiwan terapresiasi 0,42 persen, won Korea 0,29 persen dan dolar Singapura menguat 0,16 persen.
Sementara itu, yuan China dan rupee Malaysia terkoreksi masing-masing 0,40 persen dan 0,44 persen.
Faktor China
Dikutip dari CNBC, rupiah menguat seiring dengan tindakan China yang membalas kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat (AS).
Langkah ini merupakan reaksi atas tarif impor yang diberlakukan oleh pemerintah Presiden Donald Trump, yang secara langsung memengaruhi sejumlah sektor ekonomi global.
Pada hari Selasa (4/2/2025), tepat pukul 12:01 pagi waktu setempat, AS mengimplementasikan tarif tambahan 10 persen terhadap seluruh barang impor dari China.
Sebagai respons, Kementerian Keuangan China segera mengumumkan keputusan untuk mengenakan tarif balasan.
China menetapkan tarif sebesar 15 persen untuk batu bara dan gas alam cair (LNG) asal AS, serta tarif 10 persen untuk minyak mentah, peralatan pertanian, dan sejumlah jenis kendaraan.
Selain langkah tarif, Beijing turut meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan teknologi besar, dengan memulai investigasi antimonopoli terhadap Google dan perusahaan induk Alphabet Inc.
Tak hanya itu, beberapa perusahaan AS seperti PVH Corp, pemilik merek Calvin Klein, dan perusahaan bioteknologi Illumina, juga dimasukkan dalam daftar entitas yang dianggap tidak dapat dipercaya oleh China.
Lebih jauh lagi, China memperketat regulasi ekspor sejumlah logam tanah jarang dan mineral penting lainnya, yang merupakan bahan baku krusial bagi teknologi tinggi dan transisi menuju energi bersih global.
Sementara itu, faktor domestik Indonesia turut memberi pengaruh positif, dengan angka pertumbuhan ekonomi yang masih tumbuh di atas 5 persen.
Hal ini memberikan sentimen yang cukup menggembirakan, mengingat Indonesia tahun lalu menghadapi tantangan serius seperti deflasi berkepanjangan dan penurunan sektor manufaktur yang kontraktif selama lima bulan berturut-turut.***