JAKARTA – Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa menepis kemungkinan negaranya bergabung dengan Kesepakatan Abraham, menegaskan bahwa konflik Suriah dengan Israel memiliki karakteristik yang fundamental berbeda dari konflik negara-negara Arab lain.
Dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan oleh majalah Saudi, Al-Majalla, Sharaa menyatakan bahwa pendekatan Damaskus didasarkan pada “tidak adanya masalah” dengan negara-negara tetangga. Namun, ia menekankan bahwa normalisasi hubungan dengan Israel tidak termasuk dalam agenda mereka.
“Kesepakatan itu ditandatangani dengan negara-negara yang tidak memiliki wilayah pendudukan atau konflik langsung dengan Israel. Situasi Suriah berbeda, Dataran Tinggi Golan milik kami diduduki [Israel],” ujarnya, merujuk pada wilayah strategis yang dicaplok oleh Israel dalam Perang Enam Hari 1967.
Sebagai informasi, Kesepakatan Abraham yang ditengahi oleh Amerika Serikat (AS) pada 2020 adalah perjanjian yang bertujuan untuk menormalisasi hubungan antara Israel, Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko.
Prioritas utama Damaskus, menurut Sharaa, adalah menghidupkan kembali Perjanjian Pelepasan tahun 1974 yang ditengahi PBB, atau pengaturan serupa, untuk menstabilkan kawasan Suriah selatan di bawah pengawasan internasional.
Sharaa juga menyoroti kehadirannya di Majelis Umum PBB di New York pada bulan September, yang merupakan penampilan perdana seorang presiden Suriah sejak tahun 1967. Ia menggambarkan momen bersejarah ini sebagai tanda integrasi kembali Suriah ke dalam diplomasi internasional.
“Partisipasi ini sendiri merupakan pesan bahwa Suriah tidak lagi terisolasi,” katanya. Ia menambahkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, Suriah telah membangun kembali hubungan dengan AS, Turki, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, dan beberapa negara Eropa.




