GAZA, PALESTINA – Laporan mengejutkan dari surat kabar Israel Haaretz mengungkap pengakuan sejumlah tentara Israel yang mengklaim mendapat perintah untuk menembaki warga sipil Palestina di lokasi distribusi bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza.
Pengakuan ini memicu gelombang kecaman internasional dan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia, sementara pemerintah Israel buru-buru membantah klaim tersebut.
Pengakuan Tentara Israel: “Medan Pembantaian” di Gaza
Menurut laporan Haaretz yang diterbitkan pada Jumat (27/6/2025), sejumlah tentara Israel yang bertugas di Gaza mengungkapkan bahwa mereka diperintahkan untuk menembak warga sipil yang berkumpul di sekitar pusat distribusi bantuan, meskipun warga tersebut tidak bersenjata dan tidak menunjukkan ancaman. Salah seorang tentara menggambarkan situasi di lokasi tugasnya sebagai “medan pembantaian.”
“Di lokasi saya ditempatkan, satu hingga lima orang tewas terbunuh setiap hari,” ujar seorang tentara yang identitasnya dirahasiakan, seperti dikutip Haaretz. “Tidak ada pengendalian massa, tidak ada gas air mata. Hanya tembakan langsung dengan segala cara yang bisa dibayangkan.”
Laporan ini menyebutkan bahwa perintah tersebut telah berlangsung selama sebulan terakhir, terutama di sekitar pusat bantuan yang dikelola oleh Gaza Humanitarian Foundation (GHF), yang didukung Amerika Serikat dan Israel. Data dari Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mencatat, sejak 27 Mei 2025, lebih dari 410 warga Palestina tewas saat mencoba mengakses bantuan di lokasi-lokasi tersebut.
Bantahan Keras dari Israel
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Katz langsung membantah keras pengakuan tersebut. Dalam pernyataan bersama, mereka menuding laporan *Haaretz* sebagai “fitnah berdarah” yang bertujuan mendiskreditkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF).
“Ini adalah kebohongan kejam yang dirancang untuk mendiskreditkan IDF, tentara paling bermoral di dunia,” tegas Netanyahu dan Katz.
Pihak militer Israel juga mengklaim telah meningkatkan pengamanan di sekitar pusat distribusi bantuan dengan memasang pagar dan rute akses tambahan untuk mencegah kekacauan. Namun, laporan dari berbagai sumber, termasuk Al Jazeera, menyebutkan bahwa warga hanya diberi waktu 20 menit untuk mengambil bantuan sebelum tembakan dilepaskan untuk membubarkan kerumunan.
Kecaman Dunia dan Tuduhan Genosida
Pengakuan ini memicu kemarahan komunitas internasional. Organisasi HAM seperti GMO Gaza menilai tindakan tersebut sebagai bukti baru “kebijakan genosida sistematis” yang dilakukan Israel. “Penggunaan artileri berat, senapan mesin, dan tembakan langsung terhadap warga sipil yang tengah mengantre makanan adalah bukti lanjutan bahwa Israel menjadikan bantuan kemanusiaan sebagai kedok untuk melanjutkan agresi,” tegas GMO.
Komisaris Jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini, juga menuduh Israel memanfaatkan bantuan kemanusiaan untuk memindahkan paksa warga Palestina, sebuah praktik yang dianggap melanggar hukum humaniter internasional. Selain itu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sebelumnya telah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang di Gaza.
Krisis Kemanusiaan Memburuk
Data otoritas kesehatan Gaza menyebutkan, lebih dari 500 warga Palestina tewas di sekitar titik distribusi bantuan sejak akhir Mei 2025. Insiden terbaru terjadi pada Jumat (27/6), ketika enam orang dilaporkan tewas akibat tembakan saat berusaha mengambil bantuan makanan di Gaza selatan. Total korban tewas akibat agresi Israel di Gaza sejak Oktober 2023 telah mencapai lebih dari 56.000 jiwa, dengan mayoritas adalah perempuan dan anak-anak.
Sementara itu, kelompok perlawanan Palestina seperti Brigade Al-Qassam dan Brigade Al-Quds terus melancarkan serangan balasan terhadap pasukan Israel, memperumit situasi di lapangan.
Investigasi Dijanjikan, Tapi Akankah Membuahkan Hasil?
Menanggapi laporan ini, Israel berjanji akan melakukan investigasi internal terkait dugaan perintah penembakan. Unit khusus telah dibentuk untuk memeriksa tindakan prajurit di lokasi distribusi bantuan. Namun, skeptisisme muncul mengingat riwayat investigasi serupa yang sering kali dianggap tidak transparan oleh komunitas internasional.
Seruan Gencatan Senjata Menggema
Krisis kemanusiaan di Gaza kian memburuk dengan laporan penutupan jalur distribusi bantuan dan pengusiran paksa warga ke zona yang diklaim aman, seperti Al-Mawasi. Desakan untuk gencatan senjata permanen terus bergema, termasuk dari Presiden AS Donald Trump, yang menyatakan harapannya agar konflik segera berakhir.
Namun, dengan penolakan Israel terhadap seruan gencatan senjata dan berlanjutnya operasi militer, prospek perdamaian tampak semakin jauh. Dunia kini menanti langkah nyata untuk menghentikan kekerasan dan memastikan bantuan kemanusiaan sampai ke tangan warga Gaza tanpa hambatan.