JAKARTA – Nilai tukar rupiah mencatatkan penguatan tipis terhadap dolar Amerika Serikat (AS) usai keputusan mengejutkan dari Bank Indonesia (BI) yang memangkas suku bunga acuan.
Pada Rabu (21/5/2025), data Bloomberg mencatat rupiah naik 0,10 persen atau 16 poin ke level Rp16.396 per dolar AS.
Kenaikan nilai tukar rupiah ini terjadi seiring pemangkasan BI Rate sebesar 25 basis poin, menjadi 5,5 persen.
Langkah tersebut menandai sinyal dovish dari otoritas moneter di tengah inflasi domestik yang masih terkendali di bawah kisaran target 2,5±1 persen dan pertumbuhan ekonomi yang tetap stabil.
Analis pasar uang, Ibrahim Assuaibi, mengatakan keputusan BI ini mencerminkan keyakinan terhadap fundamental ekonomi Indonesia.
Namun, ia juga memperingatkan pasar tetap mencermati sentimen fiskal dan geopolitik global yang berkembang cepat.
“Sehingga, suku bunga BI sekarang menjadi 5,5 persen,” ujarnya dikutip Antara.
Risiko APBN Mengintai
Selain faktor domestik dari sisi moneter, perhatian pelaku pasar juga tertuju pada pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam forum penyampaian KEM-PPKF 2026.
Menkeu menyoroti adanya risiko anggaran dari program-program prioritas pemerintah yang bisa memperberat APBN jika tidak dijalankan secara efisien dan akuntabel.
“Dia menyoroti risiko sejumlah program prioritas pemerintah yang berpotensi menambah beban APBN jika tidak dilaksanakan secara optimal,” ungkap Ibrahim.
Pernyataan ini menjadi perhatian penting menjelang penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2026.
Ketegangan Timur Tengah
Dari sisi eksternal, tensi geopolitik kembali membayangi pergerakan mata uang di negara berkembang, termasuk rupiah.
Ibrahim menyoroti laporan CNN terkait kemungkinan serangan militer Israel terhadap fasilitas nuklir Iran di tengah kebuntuan diplomatik antara Teheran dan Washington.
“Ini karena AS terus mengupayakan perjanjian diplomatik dengan Teheran,” kata Ibrahim mengutip laporan tersebut.
Sementara itu, Iran tetap bersikukuh bahwa program pengayaan uraniumnya “sama sekali tidak dapat dinegosiasikan”, meski AS mendesak penghentian total.
Ketegangan ini semakin pelik karena AS tidak pernah menuntut hal serupa dari Israel maupun sekutu-sekutunya, sehingga menimbulkan persepsi ketimpangan standar dalam isu nuklir global.
Volatilitas dari isu ini bisa menambah tekanan terhadap aset-aset berisiko, termasuk rupiah, dalam waktu dekat.***