BANDUNG – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat dengan tegas menyatakan bahwa vasektomi hukumnya haram dalam Islam jika dilakukan tanpa alasan darurat yang sesuai syariat. Kebijakan ini pun menjadi sorotan publik, dengan pro dan kontra yang terus bergulir.
MUI Jabar: Vasektomi Tidak Syar’i untuk Syarat Bansos
Sekretaris MUI Jabar, KH Rafani Akhyar, menegaskan bahwa vasektomi hanya diperbolehkan dalam kondisi kedaruratan medis, seperti risiko kesehatan serius yang didukung pendapat dokter ahli. Ia mempertanyakan urgensi wacana Dedi Mulyadi tersebut.
“Usulan gubernur menjadikan vasektomi sebagai syarat penerima beasiswa dan bansos, kami justru mempertanyakan dalam rapat, di mana unsur kedaruratannya itu. Pak Ketum dengan jelas mengatakan kalau alasannya untuk persyaratan penerima bansos, maka itu tidak bisa,” ujar KH Rafani Akhyar.
Menurutnya, jika kebijakan ini tetap diterapkan, Gubernur Dedi Mulyadi dianggap mengabaikan fatwa MUI Jabar.
“Sehingga apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, itu di luar tanggung jawab MUI Jabar,” tambahnya.
Fatwa MUI tentang vasektomi merujuk pada hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV tahun 2012 di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya.
Vasektomi dianggap haram karena bersifat pemandulan permanen, kecuali memenuhi lima syarat ketat: tidak bertentangan dengan syariat, tidak menyebabkan kemandulan permanen, ada jaminan medis rekanalisasi, tidak membahayakan pelaku, dan tidak masuk program kontrasepsi mantap.
Latar Belakang Wacana Vasektomi
Dedi Mulyadi mengusulkan kebijakan ini untuk mengatasi kemiskinan melalui pengendalian jumlah kelahiran. Ia menyebut banyak keluarga prasejahtera memiliki anak dalam jumlah besar, sementara kebutuhan dasar sulit terpenuhi.
Vasektomi, menurutnya, menjadi salah satu cara untuk memastikan bansos tersalurkan secara merata dan tidak terpusat pada satu keluarga.
Namun, usulan ini menuai kritik tajam. Selain MUI, sejumlah tokoh dan masyarakat juga menyuarakan penolakan. Mereka menilai kebijakan ini berpotensi melanggar hak asasi manusia dan memaksa masyarakat miskin menjalani prosedur medis demi bantuan ekonomi.
Alternatif Solusi dari MUI
KH Rafani Akhyar menyarankan agar Pemerintah Provinsi Jawa Barat mencari pendekatan lain dalam program Keluarga Berencana (KB) yang tidak melanggar syariat. Ia mendukung penguatan program KB, tetapi harus sesuai hukum Islam dan tidak memaksakan metode seperti vasektomi.
“Kalau alasannya penerima hibah, itu tidak bisa masuk,” tegasnya.
Respons Publik dan Langkah ke Depan
Wacana ini tidak hanya memicu diskusi soal agama, tetapi juga etika dan kebijakan publik. Di media sosial, topik ini menjadi viral, dengan sebagian warganet mendukung ide pengendalian kelahiran, sementara lainnya menolak keras karena dianggap tidak manusiawi.
Pemerintah pusat, melalui Menteri Sosial Saifullah Yusuf, menyatakan akan mempertimbangkan usulan ini dengan memerhatikan fatwa MUI dan nilai-nilai HAM.
Hingga kini, belum ada kepastian apakah wacana ini akan dilanjutkan atau dibatalkan. Yang jelas, polemik ini menunjukkan betapa sensitifnya isu kebijakan publik yang menyentuh ranah agama dan kesejahteraan sosial