JAKARTA – Indonesia mengawali Desember 2025 dengan langkah diplomatik besar melalui penyampaian Indonesian Proposal for a Legally Binding International Instrument on the Governance of Copyright Royalty in Digital Environment kepada World Intellectual Property Organization (WIPO).
Hal tersebut sebagai upaya memperjuangkan sistem royalti digital yang lebih adil dan transparan di tingkat global.
Proposal tersebut mulai dibahas dalam forum Standing Committee on Copyright and Related Rights (SCCR) WIPO yang berlangsung pada 1–5 Desember 2025 di Jenewa, Swiss, dan diikuti oleh 194 negara anggota.
Dorongan ini muncul karena pertumbuhan ekonomi kreatif global yang mencapai lebih dari US$ 2,3 triliun per tahun belum sepenuhnya memberikan manfaat proporsional kepada para kreator di tengah dominasi layanan streaming yang menguasai sekitar 67 persen pasar musik dunia.
Indonesia menilai kesenjangan itu perlu dijawab dengan kerangka tata kelola royalti digital yang lebih setara agar nilai ekonomi dari karya kreatif dapat dirasakan oleh penciptanya secara layak.
Delegasi Indonesia dipimpin Wakil Menteri Luar Negeri Arief Havas Oegroseno bersama Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Hermansyah Siregar serta Kepala Badan Strategi Kebijakan Andry Indradi yang turut memperkuat substansi usulan Indonesia dalam sidang tersebut.
Inisiatif besar ini pertama kali dirancang oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas pada Mei 2025 dan kini memasuki tahap pembahasan resmi di tingkat internasional melalui forum SCCR.
Sepanjang sidang, delegasi Indonesia juga menjalin pertemuan bilateral dengan kelompok regional GRULAC, Jepang, dan Amerika Serikat untuk membangun dukungan lebih luas terhadap proposal ini.
“Seringkali, pencipta hanya menerima sebagian kecil dari pendapatan yang dihasilkan oleh karya mereka sendiri.“
“Realitas ini tidak semata-mata merupakan persoalan ekonomi, ini adalah persoalan keadilan, kewajaran, dan pengakuan moral.“
“Oleh karena itu, Indonesia menyerukan pembaruan komitmen dan tindakan bersama,” tegas Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno.
Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa pengajuan instrumen hukum internasional yang mengikat adalah bagian dari komitmen negara untuk melindungi hak ekonomi kreator yang selama ini tergerus oleh ketimpangan dalam ekosistem royalti digital global.
UNESCO dan Bank Dunia mencatat bahwa sekitar US$ 55,5 miliar royalti musik dan audiovisual hilang setiap tahun karena tidak terkumpul, tidak tercatat, dan tidak pernah diterima oleh pencipta karya.
“Sistem royalti yang adil dan berkeadilan harus menjunjung tinggi martabat seluruh pencipta, tanpa memandang wilayah geografis maupun ukuran pasar.“
“Keadilan pada gilirannya menuntut adanya transparansi, agar para pencipta dapat memahami bagaimana royalti mereka dihitung, didistribusikan, dan dilaporkan,” ujar Havas.

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menilai kondisi ini diperparah oleh dominasi platform digital global yang mengendalikan algoritma rekomendasi, standar metadata, model lisensi, hingga sistem pelaporan pendapatan sehingga menciptakan ketimpangan struktural yang merugikan kreator.
Pemerintah mengidentifikasi empat masalah utama yang harus diperbaiki, yakni fragmentasi metadata, ketergantungan pada skema pembagian royalti yang timpang, perbedaan penilaian royalti antarnegara, dan minimnya transparansi dalam proses distribusi.
“Dalam ekosistem digital, siapa yang menguasai data, dialah yang menguasai nilai. Inilah akar persoalan royalti global saat ini,” jelas Supratman.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Indonesia menawarkan konsep arsitektur tata kelola royalti global berbasis tiga pilar meliputi standardisasi metadata fonogram dan audiovisual, kewajiban transparansi lintas negara, serta mekanisme pengawasan global berbasis audit internasional.
Ketiga pilar ini dirancang untuk memastikan setiap karya tercatat secara akurat dan tidak lagi hilang dalam sistem distribusi digital yang selama ini tidak merata.
Agar mekanisme tersebut efektif, Indonesia menegaskan bahwa diperlukan instrumen internasional yang benar-benar mengikat karena pendekatan soft law dianggap tidak cukup menghadapi dominasi platform digital besar.
“Tanpa kewajiban hukum dan sanksi yang tegas, transparansi hanya akan menjadi komitmen moral yang tidak memiliki daya paksa,” kata Supratman.
Bila disetujui, proposal ini diprediksi akan memberikan dampak signifikan bagi kreator di seluruh dunia, termasuk kreator Indonesia yang nantinya dapat mengakses data pemanfaatan karya secara global dan memperoleh royalti secara lebih akurat.
Nilai ekonomi musik dan audiovisual di Indonesia diyakini dapat meningkat hingga triliunan rupiah per tahun seiring terbukanya data penggunaan karya yang selama ini tertutup atau tidak tercatat.
Supratman mengajak kreator Tanah Air mendukung upaya diplomasi ini sekaligus aktif mencatatkan karya mereka sebagai bentuk perlindungan hak cipta agar manfaat ekonomi dapat diperoleh secara maksimal.
“Tetaplah berkarya dan percayalah bahwa negara sedang memperjuangkan hak Anda, bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di hadapan dunia,” pungkasnya.***