JERUSSALEM,PALESTINA – Hussein Al-Sheikh resmi diangkat sebagai Wakil Presiden Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di tengah spekulasi suksesi kepemimpinan Mahmoud Abbas yang kini berusia 89 tahun. Tokoh senior Fatah berusia 64 tahun itu disebut-sebut sebagai kandidat terkuat pengganti Abbas, di saat Palestina menghadapi tekanan besar akibat konflik yang terus berlanjut dengan Israel.
Perjalanan Karier, Dari Veteran Fatah hingga Posisi Strategis di PLO
Hussein Al-Sheikh bukanlah wajah baru dalam politik Palestina. Sebagai anggota senior Fatah, faksi utama PLO yang didirikan oleh Yasser Arafat, ia telah membuktikan diri sebagai figur pragmatis dengan pengalaman panjang.
Pada 2022, Al-Sheikh mengukuhkan posisinya sebagai Sekretaris Jenderal Komite Eksekutif PLO sekaligus Kepala Departemen Negosiasi. Jabatan ini bukan hanya menegaskan kedekatannya dengan Mahmoud Abbas, tetapi juga memperluas pengaruhnya dalam diplomasi internasional.
“Presiden Palestina Mahmud Abbas menunjuk Hussein al-Sheikh sebagai wakil (wakil presiden) pimpinan PLO,” ujar Wasel Abu Yousef, anggota komite eksekutif PLO, kepada AFP pada 27 April 2025.
Penunjukan ini menempatkan Al-Sheikh sebagai pengawas misi diplomatik Palestina di berbagai belahan dunia, sebuah peran strategis yang menjadikannya “pewaris politik” Abbas.
Namun, perjalanan Al-Sheikh tidak selalu mulus. Sebagai penghubung utama dengan Israel untuk urusan sipil dan keamanan, ia sering dikritik oleh kelompok seperti Hamas. Mereka menyebutnya terlalu “dekat” dengan Israel, sebuah tuduhan yang memicu kontroversi di kalangan rakyat Palestina.
Meski begitu, hubungan diplomatiknya dengan negara-negara Teluk dan Amerika Serikat, termasuk pertemuan dengan utusan Timur Tengah Donald Trump, Steve Witkoff, di Arab Saudi, menunjukkan kapabilitasnya dalam menavigasi politik global.
Calon Pengganti Abbas, Harapan atau Polemik?
Penunjukan Al-Sheikh sebagai Wakil Presiden PLO pada April 2025 bukan sekadar langkah administratif. Ini adalah sinyal kuat bahwa ia diproyeksikan untuk mengisi kekosongan kekuasaan jika Abbas meninggal dunia atau mengundurkan diri.
Namun, posisi kepresidenan Otoritas Palestina (PA) bukanlah jaminan. “Meskipun al-Sheikh diposisikan sebagai calon pengganti Abbas, namun jabatan kepresidenan tidak dijamin,” tulis Tempo.co, menyoroti kompleksitas suksesi politik di Palestina.
Tantangan terbesar Al-Sheikh adalah tekanan untuk mereformasi PLO dan PA. Sekutu Barat dan Arab mendesaknya untuk meningkatkan tata kelola pemerintahan dan manajemen ekonomi, di tengah tuduhan korupsi yang mengakar dan pembatasan sumber daya oleh Israel.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa transisi kepemimpinan dapat dimanfaatkan Israel untuk menciptakan kekosongan politik, melemahkan posisi Palestina dalam negosiasi damai.
Hamas, rival utama PLO, juga tidak tinggal diam. Mereka mengkritik pengangkatan Al-Sheikh, menyebutnya sebagai langkah yang memperdalam perpecahan internal Palestina.
“Hamas mengecam amarah Presiden Palestina Mahmoud Abbas terhadap kelompok perlawanan Palestina tersebut,” tulis CNN Indonesia, merujuk pada ketegangan antara Abbas dan Hamas yang kian memanas.
Kontroversi dan Visi ke Depan
Di tengah sorotan, Hussein Al-Sheikh tetap menjadi figur yang polarisasi. Bagi pendukungnya, ia adalah pemimpin pragmatis yang mampu menjembatani kepentingan Palestina dengan dunia internasional.
Pengalamannya sebagai negosiator dan kedekatannya dengan Abbas menjadikannya kandidat ideal untuk melanjutkan perjuangan PLO. Namun, bagi kritikus, hubungannya dengan Israel dan resistensinya terhadap reformasi internal menjadi titik lemah yang dapat menghambat legitimasi kepemimpinannya.
Apa pun pandangan terhadapnya, satu hal pasti Hussein Al-Sheikh tengah bersiap mengemban tanggung jawab besar.
Dengan konflik Gaza yang belum usai dan tekanan internasional yang kian meningkat, masa depan Palestina kini bergantung pada bagaimana ia menavigasi tantangan politik yang kompleks ini.