BRASIL – Dalam gelaran Forum Urbanisasi BRICS ke-4 yang berlangsung di Istana Itamaraty, Brasilia, Brasil, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menyoroti peran strategis sektor perumahan sebagai elemen krusial dalam mewujudkan kota yang tangguh, adil, dan inklusif.
Di hadapan delegasi internasional, AHY menyampaikan bahwa perumahan tidak hanya menyangkut soal tempat berlindung, namun merupakan titik awal dalam mengatasi dampak perubahan iklim di kawasan urban.
Pernyataan itu disampaikannya pada sesi tematik dalam Forum Urbanisasi BRICS ke-4 yang digelar di Istana Itamaraty, Kementerian Luar Negeri Brasil, Senin (23/6/2025) waktu setempat.
“Membangun infrastruktur berkelanjutan itu perlu, tetapi belum cukup. Kita juga harus membangun kesempatan. Dan sedikit investasi yang mampu membuka kesempatan sebesar perumahan,” ujar Menko AHY.
Dalam pandangan AHY, proyek infrastruktur semata tidak dapat berdiri sendiri tanpa kehadiran kebijakan perumahan yang inklusif.
Ia menyampaikan data mencolok: lebih dari tujuh juta rumah di Indonesia rusak akibat bencana alam selama satu dekade terakhir, di mana 80 persen kerusakan disebabkan oleh banjir. Kondisi ini menempatkan perumahan sebagai pusat perhatian dalam kebijakan adaptasi perubahan iklim.
“Setiap atap yang hilang bukan hanya berarti kehilangan tempat tinggal, tapi juga risiko terhadap kesehatan, mata pencaharian, dan pendidikan. Karena itulah adaptasi harus dimulai dari rumah, tempat di mana hari dimulai,” lanjutnya.
Pemerintah Indonesia, imbuh AHY, kini tengah merancang Peta Jalan Perumahan Tangguh Nasional.
Strategi ini mencakup berbagai komponen utama seperti pondasi anti-banjir, sistem kelistrikan yang aman, atap yang mampu menampung air hujan, akses sanitasi, dan pelindung alami seperti sabuk mangrove di wilayah pesisir.
Peta jalan ini bertujuan menjadikan rumah tinggal sebagai basis awal dari kesiapsiagaan menghadapi krisis iklim.
Meski begitu, AHY mengingatkan bahwa kekuatan bangunan saja tidak mencukupi. Lokasi rumah harus berada dalam radius yang memudahkan akses terhadap transportasi publik dan aktivitas sosial ekonomi.
Konsep pengembangan kawasan berbasis transportasi massal (transit-oriented development/TOD) menjadi fondasi penting dalam membangun komunitas yang resilien.
“Perumahan yang terjangkau harus terhubung dengan pekerjaan, sekolah, dan layanan publik melalui pengembangan berbasis transportasi massal (transit-oriented development).”
“Adaptasi tidak boleh mendorong keluarga ke pinggiran. Adaptasi harus menempatkan mereka di pusat kesempatan,” tegasnya.
AHY menutup presentasinya dengan menggarisbawahi bahwa perumahan harus diakui sebagai instrumen utama dalam strategi pembangunan perkotaan yang berkelanjutan.
Rumah bukan sekadar bangunan, tapi juga fondasi utama bagi stabilitas sosial, ekonomi, dan lingkungan masyarakat.
“Perumahan harus menjadi lebih dari sekadar tempat tinggal. Ia harus menjadi garis depan ketahanan kota dan fondasi bagi pertumbuhan yang inklusif,” pungkas Menko AHY.
Forum Urbanisasi BRICS edisi ke-4 ini merupakan ajang strategis yang mempertemukan negara-negara anggota dan mitra dalam membahas solusi urbanisasi berkelanjutan.
Menteri Perkotaan Brasil, Jader Barbalho, secara langsung mengundang AHY untuk menyampaikan pengalaman Indonesia dalam pembangunan berbasis keadilan dan keberlanjutan.
Sebagai catatan, BRICS merupakan forum ekonomi besar yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Tahun ini, forum turut melibatkan mitra global seperti Indonesia, Mesir, Ethiopia, Nigeria, Bolivia, dan Kuba.
Total delegasi yang hadir mencapai 72 peserta dari berbagai negara Global South, menandakan pentingnya solidaritas lintas negara dalam menghadapi tantangan urbanisasi masa depan.***