JAKARTA – Setiap 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional atau Mayday. Bukan sekadar ritual tahunan, momen ini adalah refleksi atas sejarah panjang perjuangan pekerja dalam mendapatkan hak-hak dasar yang layak.
Dari tuntutan kerja 8 jam sehari di abad ke-19, hingga perjuangan buruh masa kini melawan upah murah, diskriminasi, hingga eksploitasi digital, Hari Buruh tetap menjadi tonggak penting dalam menjaga keseimbangan antara tenaga kerja dan kekuasaan industri.
Hari Buruh resmi ditetapkan sebagai hari libur nasional di Indonesia pada 1 Mei 2013 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2013 .
Penetapan ini mulai berlaku efektif pada 1 Mei 2014, menjadikan tanggal tersebut sebagai hari libur nasional yang tercantum dalam kalender resmi Indonesia .
Sebelum penetapan ini, Hari Buruh telah diperingati di Indonesia sejak 1 Mei 1918, namun tidak selalu diakui secara resmi sebagai hari libur nasional.
Penetapan resmi hari libur ini bertujuan untuk menghormati perjuangan para pekerja dan memperkuat hubungan industrial yang harmonis di Indonesia.
Akar Sejarah yang Tidak Bisa Dilepaskan
Hari Buruh berakar dari perjuangan pekerja di Amerika Serikat, terutama peristiwa Haymarket Affair pada tahun 1886 di Chicago.
Saat itu, ribuan buruh menuntut pengurangan jam kerja menjadi delapan jam per hari.
Aksi tersebut berakhir dengan bentrokan berdarah, namun menjadi pemantik solidaritas pekerja di seluruh dunia.
Kini, Hari Buruh menjadi simbol global perlawanan terhadap ketidakadilan dalam dunia kerja.
Masih Banyak PR di Dunia Ketenagakerjaan
Meski sudah lebih dari satu abad berlalu, persoalan ketenagakerjaan belum selesai. Banyak pekerja masih menghadapi upah minimum yang belum mencukupi kebutuhan hidup layak.
Kondisi kerja yang tidak aman, sistem kontrak jangka pendek, hingga tidak adanya jaminan sosial menjadi kenyataan pahit di banyak sektor, termasuk sektor informal dan pekerja lepas (freelance).
Era Digital: Peluang Sekaligus Ancaman
Revolusi industri 4.0 dan digitalisasi membuka peluang baru di dunia kerja, namun juga membawa tantangan serius.
Otomatisasi, kecerdasan buatan, dan kerja jarak jauh mengubah lanskap pekerjaan.
Banyak jenis pekerjaan hilang digantikan mesin, sementara pekerja dituntut beradaptasi dengan cepat.
Sayangnya, kebijakan ketenagakerjaan belum selalu siap mengakomodasi perubahan ini secara adil.
Enam Alasan Hari Buruh Harus Diperingati
1. Menghormati Jejak Sejarah Perlawanan Pekerja
Hari Buruh berasal dari perjuangan keras di abad ke-19, terutama tragedi Haymarket Affair tahun 1886 di Chicago, saat buruh menuntut jam kerja manusiawi.
Peringatan ini menjadi bentuk penghormatan atas pengorbanan mereka yang gugur demi masa depan dunia kerja yang lebih adil.
2. Menyuarakan Tuntutan Keadilan Sosial dan Ekonomi
Isu-isu seperti upah minimum yang belum layak, keselamatan kerja yang diabaikan, dan minimnya jaminan sosial masih menjadi tantangan utama.
Hari Buruh menjadi momen strategis untuk menggugah kesadaran publik dan pemangku kebijakan.
3. Merawat Solidaritas dan Persatuan Kelas Pekerja
Di tengah perbedaan jenis pekerjaan dan latar belakang ekonomi, Hari Buruh menjadi pengikat semangat solidaritas antarsesama pekerja.
Di sinilah kekuatan kolektif diperkuat untuk menghadapi tekanan dunia kerja modern.
4. Mendorong Transformasi Kebijakan Ketenagakerjaan
Demonstrasi dan aksi damai yang dilakukan setiap May Day kerap menjadi pemantik perubahan.
Dorongan terhadap revisi regulasi, peningkatan pengawasan ketenagakerjaan, serta perbaikan sistem pengupahan sering kali berangkat dari momentum ini.
5. Mengedukasi Masyarakat Tentang Peran Vital Pekerja
May Day juga merupakan sarana edukatif yang mengingatkan publik bahwa hampir seluruh sendi kehidupan—dari pangan, transportasi, hingga teknologi—berdiri di atas keringat para buruh.
6. Menghindari Kemunduran Hak-Hak Pekerja
“Peringatan Hari Buruh bukan hanya simbolis, tetapi juga momentum untuk refleksi, aksi, dan advokasi demi dunia kerja yang lebih manusiawi.”
Kalimat ini menjadi pengingat bahwa hak-hak yang telah diperjuangkan bisa kembali hilang jika tidak dijaga, apalagi di tengah era liberalisasi dan disrupsi digital.
Juga mencerminkan ruh sejati Hari Buruh: bahwa momen ini bukan sekadar seremoni atau orasi, melainkan panggilan untuk bergerak bersama, memahami tantangan baru, dan membangun masa depan kerja yang inklusif dan adil.***