JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) menghadapi tantangan besar akibat kekurangan sebanyak 1.955 hakim di berbagai peradilan umum di seluruh Indonesia.
Berdasarkan data per 12 Maret 2025, saat ini hanya ada 4.610 hakim yang bertugas dari kebutuhan ideal yang jauh lebih besar.
Kondisi ini mempengaruhi efektivitas penyelesaian perkara serta memperberat beban kerja hakim yang ada.
Kekurangan hakim ini berdampak signifikan terhadap sistem peradilan di Indonesia.
Hakim yang bertugas di daerah dengan tingkat perkara tinggi harus menangani jumlah kasus yang lebih banyak dibandingkan kapasitas normal.
Hal ini tidak hanya mempengaruhi kecepatan penyelesaian perkara tetapi juga bisa berdampak pada kualitas putusan yang dihasilkan.
Juru Bicara Mahkamah Agung, Yanto, mengungkapkan bahwa MA telah mengambil langkah-langkah strategis guna mengatasi kekurangan ini.
Salah satunya adalah mempercepat proses pendidikan calon hakim agar kebutuhan segera terpenuhi.
Saat ini, sebanyak 925 calon hakim sedang menjalani pendidikan dan pelatihan intensif sebagai bagian dari strategi percepatan pengisian kekosongan hakim.
Seleksi Ketat dan Pendidikan Dipadatkan
Dalam upaya menjaga kualitas hakim yang direkrut, MA menerapkan proses seleksi yang sangat ketat.
“Proses seleksi hakim dilakukan secara ketat untuk memastikan kualitas para calon hakim yang terpilih,” ujar Yanto dikutip dari RRI pada Sabtu (15/3/2025).
Seleksi ini mencakup berbagai tahapan, mulai dari tes kemampuan dasar, psikotes, hingga wawancara teknis yang dilakukan langsung oleh Mahkamah Agung.
“Tes hakim sangat selektif dan murni, bahkan banyak anak petinggi Mahkamah Agung yang tidak lulus,” tambahnya.
Hal ini menunjukkan bahwa seleksi dilakukan dengan prinsip meritokrasi untuk mendapatkan hakim yang benar-benar berkualitas.
Dalam rangka mempercepat pemenuhan kebutuhan hakim, MA juga memadatkan masa pendidikan calon hakim yang sebelumnya memakan waktu lebih dari empat tahun menjadi hanya dua tahun.
Dengan langkah ini, diharapkan para calon hakim dapat segera diangkat dan ditempatkan di berbagai daerah yang mengalami kekurangan.
MA tidak bekerja sendiri dalam menyelesaikan persoalan ini. Pihaknya terus berkoordinasi dengan berbagai lembaga terkait guna memastikan kebutuhan hakim dapat terpenuhi tanpa mengorbankan kualitas dan profesionalisme.
Selain itu, MA juga tengah mempertimbangkan kebijakan lain seperti redistribusi hakim secara lebih efisien serta pemanfaatan teknologi untuk membantu mempercepat proses administrasi peradilan.
Langkah-langkah ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi serta kualitas pelayanan peradilan di seluruh Indonesia.
Dengan jumlah hakim yang mencukupi, kecepatan dan kualitas penyelesaian perkara diharapkan dapat meningkat, sehingga sistem peradilan di Indonesia semakin baik dan terpercaya.***