JAKARTA – Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) merilis laporan mencengangkan yang menempatkan Israel sebagai negara dengan jumlah pembunuhan jurnalis tertinggi di dunia sepanjang 2024. Angka ini menjadi rekor tertinggi yang pernah dicatat CPJ sejak mulai mengumpulkan data pada 1992, menyoroti eskalasi kekerasan terhadap insan pers di tengah konflik berkepanjangan di Gaza dan Lebanon.
Tragedi Mematikan di Gaza dan Lebanon
Berdasarkan laporan CPJ, sejak 7 Oktober 2023, setidaknya 183 jurnalis kehilangan nyawa akibat agresi militer Israel di Gaza dan Lebanon.
Estimasi lain bahkan menyebut angka kematian mendekati 220, menjadikan konflik ini sebagai salah satu yang paling mematikan bagi jurnalis dalam sejarah modern.
Studi dari Universitas Brown menguatkan temuan ini, menyebutkan bahwa jumlah jurnalis yang tewas di Gaza melampaui total korban jurnalis dalam semua konflik besar yang melibatkan Amerika Serikat.
Salah satu kisah tragis yang mencuri perhatian adalah nasib Wael Dahdouh, kepala biro Al Jazeera di Gaza. Ia kehilangan istri, anak, dan cucunya dalam serangan udara Israel. Tak hanya itu, jurnalis foto Fatima Hassouna juga menjadi korban bersama sejumlah anggota keluarganya dalam serangan serupa. Kejadian ini memicu kecaman keras dari berbagai kalangan yang menilai tindakan tersebut sebagai pelanggaran serius terhadap kebebasan pers.
Klaim Israel dan Kritik Global
Militer Israel mengklaim bahwa serangan mereka menargetkan anggota Hamas. Namun, banyak pengamat dan organisasi hak asasi manusia menilai tindakan ini sebagai bagian dari strategi sistematis untuk membungkam media.
“Israel berusaha mengontrol narasi global dengan terus membingkai diri sebagai korban, sembari menekan pelaporan independen atas kejahatan perang di Palestina,” ujar Dina Matar, profesor komunikasi politik dari SOAS University of London.
Freedom of the Press Foundation turut mengecam keras serangan terhadap fasilitas media.
“Menyerang studio berita selama siaran langsung tidak akan menghentikan program nuklir Iran,” tegas lembaga tersebut dalam pernyataan resminya, menegaskan bahwa media, meskipun memiliki kecenderungan tertentu, bukanlah target militer yang sah.
Seruan untuk Sanksi Internasional
Kekerasan terhadap jurnalis ini memicu seruan dari akademisi dan kelompok hak asasi manusia untuk tindakan tegas terhadap Israel. Mereka mendesak penghentian pendanaan militer dan pasokan senjata sebagai bentuk tekanan konkret.
“Israel tidak akan menghentikan perilaku brutalnya tanpa tekanan dari luar,” kata Loreley Hahn Herrera, dosen media global dan budaya digital di SOAS University of London.
Narasi Propaganda dan Tantangan Kebebasan Pers
Laporan ini juga menyoroti strategi hasbara Israel, yaitu upaya komunikasi dan propaganda untuk mendominasi opini publik di negara-negara Barat. Strategi ini dinilai memperumit upaya jurnalis untuk melaporkan fakta secara independen, terutama terkait dugaan kejahatan perang di Palestina.
Konflik di Gaza tidak hanya menjadi bencana kemanusiaan, tetapi juga ancaman serius terhadap kebebasan pers.
Dunia kini dihadapkan pada pertanyaan mendesak: bagaimana komunitas internasional dapat melindungi jurnalis dan memastikan akuntabilitas atas pelanggaran hak asasi manusia di tengah situasi yang semakin memburuk