JAKARTA – Reaksi atas penangkapan mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) yang dituding mengunggah meme Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo terus menggelinding.
Dari Istana, Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menegaskan bahwa generasi muda seharusnya mendapatkan bimbingan, bukan vonis hukum, dalam menyalurkan aspirasi mereka.
Mahasiswi berinisial SSS, yang tercatat sebagai mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, diamankan oleh aparat kepolisian di indekosnya, wilayah Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, pada Selasa (6/5/2025).
Dugaan muncul akibat unggahan meme yang dinilai tidak pantas dan menyandingkan dua pemimpin nasional. Meme tersebut menyebar luas melalui akun media sosial X milik SSS.
“Kalau dari pemerintah, kalau itu anak muda, ya, mungkin ada semangat-semangat yang telanjur. Mungkin lebih baik dibina, ya, karena masih sangat muda. Itu bisa dibina. Bukan dihukum,” ujar Hasan seusai menjadi pembicara diskusi publik “Ada Apa dengan Prabowo” di Jakarta, Sabtu (10/5/2025).
Hasan menekankan pentingnya pendekatan edukatif dalam menyikapi ekspresi anak muda, terutama dalam konteks demokrasi.
Menurutnya, kritik sah-sah saja, tetapi bentuk dan cara penyampaiannya perlu diarahkan agar tetap dalam batas-batas etika dan tanggung jawab sosial.
Ia mengingatkan bahwa kebebasan menyampaikan pendapat bukan berarti bebas menghina atau menyebarkan kebencian.
Dalam pandangannya, ekspresi yang membangun jauh lebih berdampak positif ketimbang provokasi visual yang berpotensi menyinggung martabat seseorang atau lembaga negara.
”Ruang ekspresi itu harus diisi dengan hal-hal yang bertanggung jawab. Bukan dengan hal-hal yang menjurus kepada penghinaan atau kebencian,” tegas Hasan.
Ia juga mengonfirmasi bahwa Presiden Prabowo sama sekali tidak mengajukan laporan atau keluhan resmi atas unggahan tersebut.
Hasan menyatakan Presiden tetap mengedepankan pendekatan persatuan dan penguatan solidaritas nasional.
”Sampai sekarang, Presiden tidak pernah melaporkan pemberitaan atau ekspresi-ekspresi yang menyudutkan beliau. Beliau justru terus-menerus menyuarakan persatuan, saling merangkul, supaya bangsa kita bisa bergerak maju ke depan,” katanya lagi.
Sementara itu, Mabes Polri melalui Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko menyampaikan bahwa proses penyidikan terhadap mahasiswi tersebut masih berlangsung.
Ia tidak mengungkap secara rinci apakah penetapan status hukum SSS berkaitan langsung dengan meme yang viral itu.
SSS dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) juncto Pasal 27 Ayat (1) UU ITE terkait penyebaran konten yang melanggar kesusilaan, serta Pasal 51 Ayat (1) juncto Pasal 35 UU No. 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua UU ITE terkait manipulasi atau perubahan informasi elektronik.
Dari pihak kampus, ITB bergerak cepat memberikan dukungan terhadap mahasiswinya.
Direktur Komunikasi dan Hubungan Masyarakat ITB, N. Nurlaela Arief, menyatakan pihak kampus aktif menjalin koordinasi dengan sejumlah elemen, termasuk Ikatan Orang Tua Mahasiswa (IOM), dan memastikan pendampingan hukum bagi SSS tetap berjalan.
”Pihak kampus tetap memberikan pendampingan bagi mahasiswi itu,” ucap Nurlaela.
Hal serupa disampaikan Ketua Keluarga Mahasiswa ITB, Farell Faiz. Ia memastikan bahwa pendampingan terhadap SSS dilakukan sejak isu ini mencuat ke publik.
”Kami selaku KM ITB bersama elemen lainnya selalu ada pendampingan dari awal kasusnya viral,” ujar Farell.
Pernyataan lebih tajam datang dari Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Ia menilai bahwa aparat telah menerapkan praktik otoriter dengan merepresi ekspresi damai, terutama di ruang digital.
Menurutnya, pendekatan hukum atas ekspresi seni dan satire adalah bentuk kriminalisasi yang tidak sejalan dengan prinsip kebebasan berekspresi dalam demokrasi.
”Ekspresi damai seberapa pun ofensif, baik melalui seni, termasuk satir dan meme politik, bukanlah merupakan tindak pidana. Respons Polri ini jelas merupakan bentuk kriminalisasi kebebasan berekspresi di ruang digital,” ucap Usman.
Kasus ini mengundang sorotan luas masyarakat, terutama di kalangan akademisi dan pegiat hak asasi manusia.
Di tengah dinamika demokrasi dan perkembangan teknologi digital, pendekatan terhadap kritik dari generasi muda menjadi sorotan penting dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab.***