JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan peringatan keras kepada sejumlah travel haji yang dinilai tidak kooperatif dalam penyidikan dugaan korupsi kuota haji tambahan 2024.
Sejumlah penyelenggara ibadah haji dan umrah diketahui mangkir dari panggilan penyidik meski telah dijadwalkan untuk memberikan keterangan resmi terkait perkara tersebut.
“Pada penyidikan perkara ini, KPK sekaligus mengingatkan kepada pihak-pihak yang dipanggil untuk dimintai keterangan, agar kooperatif.”
“Memenuhi panggilan tersebut dan mendukung proses penyidikan perkara ini,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, Jumat (3/10/2025).
Budi menegaskan, pihaknya tak ragu menindak tegas menggunakan Pasal 21 UU Tipikor bagi pihak yang mencoba menghalangi jalannya penyidikan.
Ia menambahkan bahwa KPK memiliki kewenangan penuh untuk menggunakan langkah paksa apabila saksi tetap mengabaikan panggilan hukum.
Sebelumnya, penyidik menemukan sejumlah informasi baru setelah memeriksa lima pimpinan asosiasi dan biro travel haji pada Rabu (1/10/2025).
“Dalam pemeriksaan ini, KPK juga menemukan adanya kuota petugas haji yang diduga turut disalahgunakan. Ini yang akan terus dicari informasinya,” kata Budi.
Dari tujuh pimpinan asosiasi dan agen travel yang dipanggil, hanya lima yang hadir memenuhi panggilan penyidik.
Mereka yang hadir antara lain Ketua Umum Amphuri, Firman M Nur; Ketua Umum Himpuh, Muhammad Firman Taufik; Ketua Umum Sapuhi, Syam Resfiad.
Lalu Komisaris PT Ebad Al-Rahman Wisata sekaligus Direktur PT Diva Mabruri, H Amaluddin; dan Direktur PT Perjalanan Ibadah Berkah yang juga Sekjen Mutiara Haji, Luthfi Abdul Jabbar.
Dalam pemeriksaan tersebut, KPK mendalami mekanisme pembayaran kuota haji khusus yang dikelola penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK).
“Para saksi didalami terkait mekanisme pembayaran dalam penyelenggaraan haji khusus oleh PIHK-PIHK melalui user yang dipegang asosiasi,” ujar Budi.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengungkap bahwa kuota petugas haji kerap dialihkan kembali ke jemaah jika tidak terpakai.
“Nah, seringkali kuota para petugas haji, misalkan satu untuk 20 orang, kemudian karena ini dianggap masih ini, ya, disalurkan kembali,” kata Asep di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (2/10/2025).
Kasus dugaan korupsi ini bermula dari kebijakan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang mengubah alokasi tambahan 20.000 kuota haji periode 2023–2024.
Kebijakan tersebut dianggap menyalahi aturan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 yang seharusnya menetapkan rasio 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus, namun berubah menjadi 50:50.
Akibat dugaan praktik penyalahgunaan kuota haji tersebut, KPK memperkirakan kerugian negara mencapai lebih dari Rp1 triliun meski hingga kini belum ada penetapan tersangka.***




