JAKARTA – Menteri Haji dan Umrah Mochamad Irfan Yusuf atau yang akrab disapa Gus Irfan mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat siang, sekitar pukul 13.48 WIB.
Kehadiran Gus Irfan ke KPK dikonfirmasi Wakil Menteri Haji dan Umrah Dahnil Anzar Simanjuntak, yang menyebut kunjungan itu dilakukan untuk berkoordinasi langsung dengan pimpinan lembaga antirasuah.
“Melakukan koordinasi dengan Pimpinan KPK,” kata Dahnil dikutip dari RRI, Jumat (3/10/2025).
Wakil Ketua KPK Ibnu Basuki Widodo membenarkan agenda tersebut dan menyatakan pembahasan berfokus pada langkah pencegahan tindak pidana korupsi. “InsyaAllah iya mas,” kata Ibnu Basuki saat dikonfirmasi.
Langkah koordinasi ini berlangsung di tengah meningkatnya intensitas penyidikan kasus dugaan korupsi kuota haji 2023–2024 di Kementerian Agama. KPK sebelumnya mengumumkan status perkara tersebut resmi naik dari penyelidikan menjadi penyidikan.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menegaskan bahwa lembaganya telah mengeluarkan surat perintah penyidikan umum (sprindik umum) untuk mendalami kasus ini.
“KPK telah menaikkan status penyelidikan terkait penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kemenag 2023–2024 ke tahap penyidikan. Dalam penyidikan perkara ini, KPK menerbitkan sprindik umum,” kata Asep di Gedung Merah Putih KPK, Sabtu (9/8/2025).
Meski sprindik umum telah diterbitkan, KPK belum menetapkan pihak yang bertanggung jawab. “KPK telah menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana korupsi terkait dengan penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji,” jelas Asep.
Kasus dugaan korupsi kuota haji ini bermula dari kebijakan Menteri Agama saat itu, Yaqut Cholil Qoumas, yang mengubah komposisi alokasi tambahan 20 ribu kuota haji 2023–2024. Kebijakan tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019.
Dalam regulasi, 92 persen kuota seharusnya diperuntukkan bagi haji reguler, sementara 8 persen sisanya untuk haji khusus. Namun, kebijakan Yaqut justru membagi rata dengan komposisi 50 persen untuk reguler dan 50 persen untuk khusus.
Akibat kebijakan ini, KPK memperkirakan potensi kerugian negara mencapai lebih dari Rp1 triliun. Meski begitu, hingga kini KPK belum mengumumkan nama tersangka secara resmi.***




