JAKARTA – Kenaikan usia pensiun menjadi 59 tahun, yang mulai berlaku pada Januari 2025, dinilai oleh pakar dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja.
Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia (UI), Aloysius Uwiyono, yang menilai kebijakan tersebut sesuai dengan kondisi usia produktif yang semakin meningkat.
Aloysius menyambut baik kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun.
“Saya setuju, karena usia produktif saat ini semakin tinggi, sudah menjadi 59 atau 60 tahun untuk pekerjaan-pekerjaan yang semakin digital,” kata Aloysius pada Jumat (10/1).
Ia juga menekankan pentingnya kebebasan bagi pekerja untuk menentukan sendiri usia pensiun mereka berdasarkan kondisi kesehatan masing-masing.
“Ini karena yang menentukan seseorang masih tetap produktif adalah mereka sendiri. Jika mereka hidup sehat sejak muda, pasti usia pensiun sekitar 60 tahun. Jika hidup tidak sehat, pasti usia 50 tahun sudah sakit-sakitan,” ujar Aloysius.
Sementara itu, pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, mengaitkan kenaikan usia pensiun dengan meningkatnya angka harapan hidup di Indonesia yang mencapai 74 tahun pada 2024.
Menurutnya, peningkatan ini didukung oleh perbaikan layanan kesehatan dan penyediaan fasilitas kesehatan, termasuk keberadaan BPJS Kesehatan yang menekan biaya pengobatan.
“Pensiun usia muda 56 tahun dipandang produktivitasnya baik, maka usia pensiun dituakan menjadi 59 tahun,” kata Tadjudin.
Namun, ia mengingatkan perlunya perbaikan dalam struktur kepangkatan dan sistem penggajian seiring kenaikan usia pensiun. Perubahan tersebut dinilai penting untuk mengoptimalkan produktivitas pekerja.
“Tidak ada artinya bagi mereka yang diperpanjang masa kerjanya tapi tidak ada perubahan dalam pola kerja, hanya seperti biasa. Itu berarti hanya menambah beban pengeluaran negara (bagi ASN), tidak ada peningkatan produktivitas,” tegas Tadjudin.