SEOL, KORSEL – Mahkamah Konstitusi Korea Selatan pada Jumat (4/4/2025) memutuskan memberhentikan Presiden Yoon Suk Yeol, menguatkan mosi pemakzulan yang diajukan parlemen. Keputusan ini menandai babak akhir dari krisis politik terparah di Negeri Ginseng dalam beberapa dekade terakhir, dipicu oleh penerapan darurat militer kontroversial Yoon tahun lalu.
Pemilihan Presiden Baru Harus Digelar dalam 60 Hari
Dengan jatuhnya Yoon, konstitusi Korea Selatan mewajibkan pemilihan presiden baru dilaksanakan dalam 60 hari ke depan. Sementara itu, Perdana Menteri Han Duck-soo akan menjabat sebagai penjabat presiden hingga pemimpin terpilih dilantik.
Pelanggaran Konstitusi dan Ancaman Demokrasi
Penjabat Ketua Mahkamah Agung Moon Hyung-bae menyatakan Yoon telah melampaui kewenangannya sebagai presiden, dengan tindakan yang dinilai membahayakan demokrasi.
“(Yoon) melakukan pengkhianatan besar terhadap kepercayaan rakyat yang merupakan anggota kedaulatan republik demokratik,” ujar Moon.
Seperti dilaporkan Reuters. Ia menambahkan, deklarasi darurat militer Yoon menimbulkan kekacauan di berbagai sektor, mulai dari politik, ekonomi, hingga hubungan luar negeri.
Keputusan pemakzulan ini disetujui secara bulat oleh delapan hakim Mahkamah Konstitusi.
Sorakan Kemenangan di Tengah Aksi Unjuk Rasa
Ribuan demonstran yang menuntut pemecatan Yoon—termasuk ratusan yang berkemah semalaman—bersorak gembira mendengar putusan tersebut.
“Kami menang!” teriak mereka.
Keputusan ini mengakhiri ketegangan politik berbulan-bulan yang sempat mengganggu stabilitas negara, terutama di tengah perlambatan ekonomi dan transisi pemerintahan baru AS di bawah Donald Trump.
Yoon Terancam Persidangan Pidana
Selain pemakzulan, Yoon (64 tahun) juga menghadapi persidangan pidana terkait tuduhan pemberontakan. Pemimpin yang sedang terpuruk ini menjadi presiden Korea Selatan pertama yang pernah ditahan pada 15 Januari lalu, meski kemudian dibebaskan pada Maret setelah pengadilan membatalkan surat penahanannya.
Akar Krisis: Deklarasi Darurat Militer yang Kontroversial
Krisis politik memuncak setelah Yoon mendeklarasikan darurat militer pada 3 Desember 2024, dengan alasan memberantas elemen “anti-negara” dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh Partai Demokrat, partai oposisi yang menguasai parlemen.
Namun, dekrit tersebut dicabut hanya enam jam kemudian setelah penolakan keras dari anggota parlemen dan upaya keamanan yang gagal menutup gedung legislatif. Yoon membela diri dengan menyatakan bahwa ia tidak berniat memberlakukan darurat militer penuh dan mengecilkan dampaknya, meski protes terus berlanjut.
Kini, dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, Korea Selatan berharap dapat memulihkan stabilitas politik yang sempat goyah. Namun, apakah keputusan ini benar-benar meredakan ketegangan atau justru memicu gelombang baru kontroversi, masih perlu dilihat ke depannya.