JAKARTA – Program pembinaan siswa bermasalah melalui penempatan di barak militer yang diluncurkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menuai sorotan tajam dari DPR RI.
Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, MY Esti Wijayati, mengungkapkan keprihatinannya atas pelaksanaan program tersebut yang dinilai belum dikaji secara menyeluruh dan berpotensi melanggar prinsip-prinsip perlindungan anak.
Esti menilai program ini cenderung bersifat diskriminatif terhadap siswa yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan pendekatan edukatif, bukan pendekatan militeristik.
“Saya rasanya mau menangis, dari awal ini seolah-olah anak-anak ini sudah mendapat diskriminasi, dia mempunyai hak-hak yang harus kita berikan kepada mereka, dia juga dilindungi dengan hak-hak perlindungan,” ujar Esti dalam tayangan Kompas TV, Jumat (2/5/2025).
Lebih lanjut, Esti mendesak agar implementasi program tersebut ditunda sampai dilakukan kajian akademik yang matang.
Menurutnya, kebijakan yang menyangkut anak-anak—terlebih yang berisiko—harus dirumuskan dengan kehati-hatian ekstra, karena berdampak langsung pada masa depan generasi muda.
“Hal-hal seperti ini mestinya jangan terburu-buru, ini soal anak, kalau kita bicara soal anak ini, bicara soal masa depan, bangsa ini,” tambahnya.
Ia juga menegaskan bahwa DPR belum menerima pemaparan langsung dari Gubernur Dedi maupun Dinas Pendidikan Jawa Barat terkait program ini.
Diketahui, sebanyak 39 siswa dari Kabupaten Purwakarta secara resmi dikirim ke barak militer per 2 Mei 2025.
Mereka adalah siswa-siswa yang dinilai bermasalah dan masuk dalam program pendidikan karakter berbasis barak.
Gubernur Dedi Mulyadi menyebut kerja sama ini dilakukan dengan TNI dan Polri sebagai bagian dari upaya membentuk kedisiplinan dan tanggung jawab.
“Tidak harus langsung di 27 kabupaten/kota. Kita mulai dari daerah yang siap dan dianggap rawan terlebih dahulu, lalu bertahap,” kata Dedi menjelaskan.
Program ini digagas dengan dalih pendidikan karakter yang ditujukan untuk siswa yang dianggap sulit diatur atau bermasalah secara perilaku.
Namun pendekatan militeristik terhadap pendidikan anak, terutama anak usia sekolah yang masih dalam fase tumbuh-kembang, menjadi sorotan banyak pihak.
Beberapa pemerhati pendidikan dan hak anak juga menyuarakan kekhawatiran bahwa metode ini dapat menimbulkan trauma dan bertentangan dengan prinsip pendidikan inklusif dan humanistik.
Kritik DPR terhadap program ini menambah daftar panjang perdebatan publik soal relevansi metode militer dalam dunia pendidikan sipil.
Selain faktor pendekatan, transparansi anggaran, pengawasan eksekusi, hingga keterlibatan lembaga perlindungan anak juga menjadi catatan penting dalam penyelenggaraan kebijakan seperti ini.
Sejauh ini, belum ada pernyataan resmi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) maupun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait program tersebut.***