JAKARTA – Kementerian Agama (Kemenag) mengambil langkah proaktif dalam merespons tingginya angka perceraian di usia pernikahan muda.
Tingginya tingkat perceraian pada beberapa tahun terakhir ini, harus menjadi perhatian semua pihak termasuk pemerintah melalui Kemenag.
Atas dasar itu, Kemenag siap melakukan terobosan untuk meredam angka perceraian yang kerap terjadi di usia kritis pernikahan.
Kemenag menyiapkan program pelatihan 100 calon fasilitator yang terdiri dari penghulu dan Penyuluh Agama Islam.
Pelatihan ini merupakan bagian dari penguatan Program Pusat Pelayanan Keluarga Sakinah (Pusaka Sakinah).
Program ini, telah digagas sejak 2019 sebagai upaya membentuk keluarga tangguh sejak awal pernikahan.
Pelatihan tersebut difokuskan pada peningkatan kemampuan fasilitator dalam memberikan layanan konsultasi serta pendampingan secara aktif kepada keluarga muda.
Khususnya mereka yang berada di fase rawan pernikahan 0–5 tahun.
Masa ini dinilai sangat rentan terhadap konflik akibat benturan nilai budaya, tekanan ekonomi, hingga ketidaksiapan emosional pasangan.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Abu Rokhmad, menegaskan bahwa masa awal pernikahan membutuhkan perhatian khusus karena menjadi titik kritis bagi keberlanjutan rumah tangga.
“Usia pernikahan tersebut merupakan masa kritis yang kerap dipengaruhi oleh faktor budaya dan ekonomi. Karena itu, ketahanan keluarga harus diperkuat sejak awal,” ujarnya dalam pembukaan Bimbingan Teknis Fasilitator Layanan Konsultasi dan Pendampingan Keluarga Angkatan I di Jakarta, Senin (21/4/2025).
Keluarga Tangguh, Bangsa Kuat
Melalui pelatihan ini, Kemenag ingin membentuk tenaga pendamping keluarga yang mampu menjadi pendengar aktif, pemberi solusi, sekaligus penjaga harmoni rumah tangga secara berkelanjutan.
Kunjungan berkala tiap dua hingga tiga bulan akan dilakukan untuk memantau dinamika rumah tangga yang didampingi. Pendekatannya mengedepankan persuasi dan empati, bukan intervensi langsung.
“Kita ingin calon fasilitator cakap dalam mendengar, melihat, dan bergerak. Mereka juga harus kreatif dalam memberikan layanan konsultasi,” kata Abu Rokhmad menambahkan.
Ia juga menyoroti perubahan nilai sosial yang terjadi di tengah masyarakat, di mana perceraian mulai dianggap hal biasa. Kemudahan proses perceraian dianggap sebagai ancaman terhadap ketahanan sosial dan budaya bangsa.
“Ini tantangan kita bersama. Kita tidak hanya mengurus hilirnya, tapi juga harus menyelesaikan masalah di hulunya,” tandasnya.
Pilar Pencegah Perceraian
Keberadaan fasilitator ini menjadi kunci dalam menekan angka perceraian, sekaligus memperkuat visi jangka panjang menuju Indonesia Emas 2045 dengan menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah.
Program ini juga mencerminkan komitmen Kemenag dalam membangun ketahanan keluarga sebagai fondasi masyarakat yang beradab dan berdaya saing tinggi.
Kemenag berharap melalui program ini, akan muncul para fasilitator yang profesional, empatik, dan adaptif menghadapi dinamika rumah tangga di era modern.
Mereka diharapkan mampu hadir di tengah masyarakat sebagai penyelamat pernikahan muda dari jurang perceraian yang kian mengkhawatirkan.***