BERLIN – Langkah diplomatik besar tengah disiapkan oleh tiga kekuatan Eropa—Jerman, Prancis, dan Inggris—terkait konflik Iran-Israel.
Tiga negara tersebut dijadwalkan akan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi pada Jumat ini di Jenewa, Swiss.
Pertemuan ini digelar guna menanggapi eskalasi terbaru konflik Iran-Israel yang mulai mengkhawatirkan dunia internasional.
Menurut laporan eksklusif dari kantor berita Jerman DPA pada Rabu (19/6), pertemuan tersebut digagas sebagai respon cepat terhadap meningkatnya tensi di kawasan Timur Tengah.
Situasi semakin kompleks menyusul kabar bahwa Amerika Serikat mungkin akan memberikan dukungan militer terhadap serangan Israel ke Iran.
Namun hingga kini, Presiden AS Donald Trump belum memberikan keputusan final, sebagaimana ia nyatakan secara langsung pada hari yang sama.
Upaya dialog ini tidak berdiri sendiri. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Jerman Johann Wadephul menegaskan kesiapan kelompok E3—Jerman, Prancis, dan Inggris—untuk mengambil peran dalam menengahi konflik.
Dalam konferensi pers bersama Menteri Luar Negeri Yordania di Berlin, Wadephul menyebut bahwa jalur diplomasi masih terbuka lebar dan harus segera dimanfaatkan.
“Bersama rekan-rekan saya dari Prancis dan Inggris, serta kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, kami melakukan pembicaraan telepon dengan Menteri Luar Negeri Iran pada Senin dan mengajukan usulan yang jelas. Kami sebagai E3 siap merundingkan solusi,” kata Wadephul.
Komitmen Eropa dalam menghindari konflik bersenjata tidak hanya bersifat seremonial.
Wadephul menekankan bahwa Iran juga harus menunjukkan iktikad baik.
Langkah konkret dan bisa diverifikasi menjadi syarat mutlak, terutama terkait isu program nuklir yang selama ini menimbulkan kecurigaan internasional.
“Tidak pernah ada kata terlambat untuk duduk di meja perundingan dengan niat yang jujur,” tambah Wadephul.
Inisiatif pertemuan Jenewa ini menjadi barometer penting apakah diplomasi masih mampu meredakan ketegangan global.
Pertemuan ini pun digadang-gadang sebagai momentum kunci yang bisa menentukan arah kebijakan luar negeri di kawasan yang tengah bergolak.***