JAKARTA – Pascaserangan Amerika Serikat (AS) terhadap tiga fasilitas nuklir Iran, konflik Iran-Israel semakin memanas.
Akibat dari serangan AS tersebut, salah satunya berdampak pada operasional Selat Hormuz yang menjadi nadi energi global.
Menurut laporan Press TV, sekitar 50 kapal tangker besar mulai meninggalkan Selat Hormuz.
Hal tersebut pun seperti yang disampaikan Komandan senior Iran, Jenderal Mohsen Rezaei.
Ia menegaskan bahwa kemungkinan menyerang pangkalan militer AS dan menutup Selat Hormuz.
Menurutnya ini bukanlah gertakan kosong, melainkan strategi yang siap diimplementasikan jika situasi terus memanas.
Peringatan itu menambah kecemasan internasional, mengingat jalur ini menjadi lalu lintas utama bagi ekspor energi dari Teluk.
Urat Nadi Penting Dunia
Selat Hormuz bukan sekadar selat sempit yang menghubungkan Teluk Persia dan Teluk Oman.
Jalur air sepanjang 167 kilometer ini adalah urat nadi penting dunia, yang mengalirkan seperlima pasokan minyak global setiap harinya.
Di tengah gejolak geopolitik dan perubahan iklim, Selat Hormuz kini berada dalam sorotan tajam sebagai wilayah yang sarat kepentingan dan risiko.
Fakta-fakta berikut memberikan gambaran utuh mengenai kondisi terkini selat ini.
Dikenal sebagai kawasan dengan nilai strategis tinggi, Selat Hormuz menjadi episentrum ekonomi dan keamanan dunia.
Terlebih di era modern saat kebutuhan energi dan ketegangan regional terus meningkat.
Ketergantungan negara-negara besar terhadap jalur ini menjadikan Selat Hormuz sebagai arena diplomasi yang penuh tekanan, namun juga tak tergantikan.
Berikut 7 sorotan faktual dan analitis mengenai Selat Hormuz—mulai dari fungsi vitalnya dalam perdagangan energi dunia, hingga tantangan masa depan terkait keamanan dan teknologi navigasi.
1. Jantung Ekspor Energi Dunia
Selat Hormuz memfasilitasi pengangkutan sekitar 20–30% minyak mentah dunia serta lebih dari sepertiga perdagangan gas alam cair global setiap harinya.
Negara-negara penghasil energi seperti Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait, dan Qatar menjadikan selat ini sebagai jalur utama menuju pasar Asia, Eropa, dan Amerika.
Jika Selat Hormuz ditutup akibat konflik atau serangan, pasar global dapat mengalami lonjakan harga energi yang berujung pada krisis ekonomi.
Kondisi ini menjadikannya sebagai salah satu titik lemah dalam rantai distribusi energi internasional yang perlu pengawasan ketat.
2. Zona Rawan Konflik Internasional
Secara geografis, Selat Hormuz berbatasan langsung dengan Iran di utara dan Oman serta UEA di selatan, menjadikannya pusat tarik-menarik kekuatan regional.
Dominasi Iran atas wilayah sekitarnya seringkali menimbulkan ketegangan, terlebih saat negeri tersebut mengancam akan memblokade jalur pelayaran internasional.
Amerika Serikat pun memiliki ambisi untuk mengerus dominasi negara-negara terdekat Selat Hormuz, termasuk Iran.
Namun menurut AS, kehadiran militer mereka di kawasan ini tak hanya untuk menjaga kepentingan energinya, tetapi juga untuk menjamin kebebasan pelayaran.
Ketegangan sempat meningkat pada 2019 akibat insiden penyerangan kapal tanker, yang memperlihatkan betapa rapuh stabilitas kawasan ini.
3. Simpul Sejarah dan Budaya Maritim
Tak hanya soal energi dan konflik, Selat Hormuz memiliki jejak sejarah panjang sebagai jalur perdagangan kuno.
Mulai dari Kekaisaran Persia, penjelajah Arab, hingga ekspansi kolonial Portugis dan Inggris, semuanya pernah berusaha menguasai wilayah ini.
Pulau Hormuz, yang memberi nama selat ini, dahulu dikenal sebagai pusat perdagangan rempah dan barang mewah.
Kehidupan masyarakat di pesisir selat juga kaya akan nilai budaya.
Komunitas nelayan dan pedagang tradisional masih menjaga warisan leluhur, menjadikan Selat Hormuz sebagai ruang hidup yang bukan hanya strategis, tapi juga historis.
4. Kawasan Rentan di Tengah Transisi Energi
Di tengah ancaman perubahan iklim dan gelombang transisi menuju energi terbarukan, Selat Hormuz menghadapi tantangan serius.
Badai ekstrem, kenaikan permukaan air laut, serta ketegangan militer dapat memengaruhi stabilitas pelayaran.
Meski upaya global menuju energi hijau terus digencarkan, ketergantungan pada minyak masih tinggi, menjadikan selat ini tetap krusial untuk beberapa dekade ke depan.
5. Ancaman dari Aktor Non-Negara
Selain dari negara-negara besar, Selat Hormuz juga berisiko terhadap aksi aktor non-negara seperti kelompok ekstremis atau bajak laut.
Dalam beberapa tahun terakhir, insiden serangan terhadap kapal tanker dengan drone dan ranjau laut marak terjadi.
Tahun 2020, serangan terhadap kapal tanker di perairan ini diduga kuat dilakukan oleh kelompok bersenjata yang memperoleh dukungan politik dari pihak tertentu, memperumit aspek keamanannya.
6. Navigasi dan Infrastruktur Maritim yang Kompleks
Selat Hormuz memiliki karakteristik laut yang menantang—arus kuat, kedalaman bervariasi, dan jalur pelayaran yang sempit.
Navigasi di kawasan ini membutuhkan teknologi canggih serta koordinasi lintas negara.
Oman dan UEA telah membangun pelabuhan modern seperti Duqm, guna mendukung kelancaran lalu lintas kapal dan mencegah kecelakaan.
Meski begitu, potensi tumpahan minyak dan tabrakan kapal tetap mengintai di tengah lalu lintas yang padat.
7. Upaya Diversifikasi Jalur Energi
Beberapa negara mulai mencari alternatif guna mengurangi ketergantungan terhadap Selat Hormuz.
Contohnya, Arab Saudi telah mengembangkan pipa minyak ke Laut Merah (East-West Pipeline).
Namun kapasitasnya terbatas, sehingga Selat Hormuz masih menjadi andalan utama dalam distribusi energi dunia.
Fakta ini menegaskan betapa dunia belum sepenuhnya siap jika jalur ini terganggu.
Simbol Ketergantungan Energi Global
Nah, itulah tujuh fakta strategis tengan Selat Hormuz yang menjadi simbol dari ketergantungan energi global, persaingan geopolitik, dan warisan sejarah.
Meski berbagai upaya diversifikasi dan transisi energi tengah dilakukan, jalur ini masih menjadi titik krusial yang tak tergantikan dalam peta global.
Bagi para pengamat internasional, Selat Hormuz tetap menjadi laboratorium alami dari interaksi antara geografi, ekonomi, dan kekuasaan.***