JAKARTA – Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) mengusulkan wacana penghapusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) sebagai syarat administrasi kerja.
Menteri HAM Natalius Pigai menilai bahwa keberadaan SKCK justru menjadi bentuk diskriminasi terhadap mantan narapidana yang hendak kembali membangun hidupnya.
SKCK, yang diterbitkan oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri), selama ini menjadi dokumen wajib dalam berbagai urusan administratif seperti melamar kerja, pencalonan pejabat publik, pengurusan visa, hingga perpindahan kewarganegaraan. Fungsinya dijelaskan dalam Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 6 Tahun 2023, Pasal 1 Ayat 1 dan Pasal 15 Ayat 2 huruf b.
Namun, Pigai yang juga mantan Komisioner Komnas HAM berpendapat bahwa SKCK justru menjadi hambatan utama bagi eks narapidana dalam mencari pekerjaan. Ia menilai bahwa sistem ini menciptakan ketimpangan, terutama karena mantan napi dari kalangan bawah kerap ditolak, sedangkan mantan koruptor masih bisa mencalonkan diri dalam pemilu pasca putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2022.
Hal senada yang diungkapkan Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan HAM Kementerian Hukum dan HAM, Nicholay Aprilindo. Menurutnya, banyak mantan napi kesulitan mendapatkan pekerjaan lantaran SKCK menjadi syarat mutlak oleh berbagai perusahaan.
“Setiap mereka mencari pekerjaan terbebani dengan SKCK yang dipersyaratkan oleh perusahaan-perusahaan atau tempat kerja,” ujar Nicholay.
Menanggapi usulan tersebut, Polri melalui Kepala Biro Penerangan Masyarakat, Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andika, menegaskan bahwa kewenangan penghapusan SKCK bukan berada di tangan kepolisian.
“SKCK salah satu fungsi dalam operasional untuk pelayanan kepada masyarakat,” kata Trunoyudo di Bareskrim Polri, Senin 24 Maret 2025.
Ia menambahkan bahwa Polri hanya bertindak sebagai pelaksana yang menyediakan layanan penerbitan SKCK berdasarkan permintaan masyarakat, bukan penentu kebijakan.
“Apa yang menjadi masukan dan sudah dikaji menjadi masukan bagi kami, namun pelayanan ini juga berbasis pada reasoning atau pendekatan undang-undang/regulasi,” ujarnya.
Potensi Dampak Penghapusan SKCK
Jika penghapusan SKCK benar-benar diterapkan, sejumlah dampak positif maupun negatif dapat muncul.
Dampak Positif:
- Memberikan kesempatan kerja yang lebih luas bagi eks narapidana tanpa stigma.
- Menghapus diskriminasi sosial terutama terhadap napi dari kalangan non-elit.
- Menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
- Mengurangi potensi praktik pungutan liar dalam pengurusan SKCK.
Dampak Negatif:
- Perusahaan tidak dapat lagi menilai rekam jejak kriminal calon pekerja.
- Pengajuan visa ke negara-negara tertentu bisa terganjal karena tidak ada bukti kelakuan baik.
- Proses adopsi anak dapat terganggu karena salah satu syarat utamanya hilang.
- Lembaga pendidikan atau pemberi beasiswa kehilangan alat verifikasi latar belakang penerima manfaat.
Dengan posisi SKCK sebagai dokumen yang selama ini diatur dalam undang-undang, perubahan kebijakan ini membutuhkan kajian yang matang dan regulasi yang jelas.
Pemerintah dan para pemangku kepentingan perlu memastikan agar kebijakan pro terhadap reintegrasi sosial mantan napi tetap berjalan, tanpa mengorbankan aspek kehati-hatian dalam proses rekrutmen atau administrasi lainnya