JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan tanggapan tegas terkait gugatan yang meminta proses Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR dilakukan melalui pemilu di daerah pemilihan (dapil).
Gugatan ini mencuat setelah sejumlah pihak menilai mekanisme PAW saat ini kurang mencerminkan kehendak rakyat. Lantas, apa kata KPU?
Dalam pernyataan resminya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa mekanisme PAW sudah diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Ia menjelaskan, PAW dilakukan berdasarkan usulan partai politik dengan mempertimbangkan calon pengganti dari daftar perolehan suara terbanyak berikutnya di dapil yang sama.
“Ketentuan soal PAW sudah diatur dalam UU Pemilu. Kami bekerja sesuai regulasi yang ada, yakni mengacu pada perolehan suara calon dari partai di dapil bersangkutan,” ujar Hasyim
Latar Belakang Gugatan: Kehendak Rakyat Diragukan
Gugatan ini berawal dari keresahan sejumlah kelompok yang menilai mekanisme PAW saat ini tidak sepenuhnya mencerminkan aspirasi pemilih. Mereka mengusulkan agar PAW dilakukan melalui pemilu ulang di dapil terkait, sehingga rakyat kembali memiliki hak menentukan wakilnya. Menurut penggugat, sistem saat ini terlalu bergantung pada keputusan partai politik, yang berpotensi mengabaikan suara rakyat.
Namun, usulan ini menuai pro dan kontra. Sebagian pihak menilai pemilu ulang untuk PAW bisa memakan waktu dan biaya besar, sementara yang lain mendukung karena dianggap lebih demokratis. Isu ini pun menjadi sorotan, terutama menjelang dinamika politik 2025 yang kian memanas.
KPU: Aturan Sudah Jelas, Tak Perlu Pemilu Ulang
Hasyim menegaskan, KPU tidak memiliki wewenang untuk mengubah mekanisme PAW secara sepihak.
Ia menjelaskan bahwa proses penggantian anggota DPR yang berhenti entah karena meninggal, mengundurkan diri, atau diberhentikan sudah memiliki landasan hukum yang kuat. Calon pengganti diambil dari daftar caleg dengan suara terbanyak berikutnya di dapil yang sama, sesuai hasil pemilu sebelumnya.
“Kalau ada usulan pemilu ulang untuk PAW, itu bukan ranah KPU. Itu kewenangan pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah,” tambah Hasyim.
Ia juga menyinggung soal efisiensi. Menurutnya, menggelar pemilu ulang untuk setiap kasus PAW akan membebani anggaran negara dan memperlambat pengisian kekosongan jabatan di DPR.
“Kami harus realistis. Mekanisme yang ada sudah dirancang untuk menjaga stabilitas dan keberlanjutan tugas legislatif,” tegasnya.
Pandangan Pakar: Antara Demokrasi dan Efisiensi
Isu ini juga mengundang komentar dari pengamat politik. Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, menilai usulan pemilu ulang untuk PAW menarik dari sisi demokrasi, tetapi sulit diterapkan secara praktis.
“Secara prinsip, melibatkan rakyat langsung memang lebih ideal. Tapi, kalau setiap PAW harus pemilu ulang, biaya dan waktu yang dibutuhkan sangat besar,” ungkap Titi.
Di sisi lain, Titi menyarankan agar partai politik lebih transparan dalam menentukan calon pengganti.
“Partai harus membuka prosesnya ke publik, sehingga tidak ada kesan PAW hanya berdasarkan kepentingan elit,” katanya.
Anggota Komisi II DPR, yang membidangi urusan pemilu, juga memberikan pandangan. Rifqinizamy Karsayuda, Ketua Komisi II, menilai mekanisme PAW saat ini sudah cukup representatif.
“Yang penting, calon pengganti berasal dari dapil yang sama dan sesuai perolehan suara. Ini sudah mencerminkan kehendak pemilih,” ujar Rifqi, Rabu (5/3/2025).
Namun, ia tak menutup kemungkinan untuk membahas usulan pemilu ulang di masa depan, asalkan ada kajian mendalam.
“Kami terbuka untuk diskusi, tapi harus mempertimbangkan aspek hukum, anggaran, dan dampaknya bagi stabilitas politik,” tambahnya.
Gugatan ini kini bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Para penggugat meminta MK menguji Pasal 240 ayat (1) huruf c UU Pemilu terhadap UUD 1945, dengan harapan ada perubahan aturan yang lebih demokratis. Sementara itu, KPU menyatakan akan menghormati putusan MK, apa pun hasilnya.
“Kalau ada putusan MK yang mengubah mekanisme, kami akan patuh. Tapi untuk saat ini, kami jalankan aturan yang berlaku,” tutup Hasyim.