JAKARTA – Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan kondisi memprihatinkan pasca gempa Myanmar berkekuatan 7,7 magnitudo mengguncang negara tersebut pada 28 Maret 2025.
Bencana ini meninggalkan jejak kehancuran, dengan pasokan makanan, air bersih, obat-obatan, dan tempat tinggal kian menipis, memicu krisis kemanusiaan yang mendesak untuk segera ditangani.
Kantor Kemanusiaan PBB (OCHA) melaporkan bahwa waktu emas untuk operasi penyelamatan semakin terbatas.
“Waktu untuk respons pencarian semakin sempit,” ujar Koordinator Kemanusiaan OCHA untuk Myanmar, Marcoluigi Corsi, dalam konferensi pers di Jenewa.
Ia memperingatkan bahwa korban jiwa dan dampak bencana diperkirakan melonjak seiring berlalunya 72 jam kritis pasca-gempa.
Di wilayah terdampak seperti Mandalay, Magway, dan Sagaing, warga terpaksa bertahan di tempat terbuka tanpa listrik dan air mengalir, memperparah situasi.
Kekurangan pasokan vital semakin terasa. “Tempat tinggal, makanan, air bersih, dan perlengkapan rumah tangga penting semakin terbatas,” ungkap Marcoluigi.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat rumah sakit di Myanmar kewalahan menangani lonjakan pasien, dengan stok medis menipis dan krisis air bersih serta bahan bakar kian memburuk.
UNICEF pun menegaskan bahwa anak-anak, yang sebelumnya telah menghadapi kesulitan, kini berada di ujung tanduk akibat bencana ini.
Wakil Perwakilan UNICEF, Julia Rees, menyuarakan keprihatinan mendalam: “Kebutuhan sangat besar dan terus meningkat setiap jam. Waktu untuk respons penyelamatan semakin menipis.”
Ia menambahkan bahwa keluarga-keluarga di daerah terdampak menghadapi kekurangan akut, diperparah oleh kerusakan infrastruktur seperti pipa air dan septic tank.
Suhu panas yang ekstrem turut memperburuk kondisi, menjadikan air bersih sebagai kebutuhan paling mendesak.
Badan Pengungsi PBB (UNHCR) menyebut situasi ini sebagai tragedi kemanusiaan terburuk dalam beberapa tahun terakhir di Myanmar.
“Kami belum pernah melihat tragedi dan kehancuran seperti ini,” kata Juru Bicara UNHCR, Babar Baloch.
Fokus utama saat ini adalah mengirimkan bantuan darurat, termasuk tempat tinggal dan barang kebutuhan pokok, ke wilayah terdampak.
Baloch juga menekankan perlunya perlindungan anak, pencegahan kekerasan gender, dan penanganan risiko ranjau yang kini mengintai.
Jumlah korban terus bertambah tragis. Pemimpin junta Myanmar, Min Aung Hlaing, mengonfirmasi bahwa hingga 1 April 2025, korban tewas mencapai 2.719 jiwa, dengan 4.521 orang luka-luka dan lebih dari 440 lainnya masih hilang.
Myanmar menetapkan tujuh hari berkabung nasional sejak 31 Maret, namun dengan banyaknya korban yang belum ditemukan, angka kematian diperkirakan akan terus naik.*** (Sumber: Anadolu/Antara)