JAKARTA – Program pemerintah untuk meluncurkan 80.000 Koperasi Merah Putih pada Hari Koperasi Nasional, 12 Juli 2025 mendatang, dipandang potensial menjadi tulang punggung ekonomi desa.
Namun, DPR RI melalui Anggota Komisi VI, Mufti Anam, memperingatkan agar program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah Putih) tersebut tak menjadi bumerang.
Menurutnya, jika tidak dikelola dengan transparan dan adil, koperasi ini justru berisiko menciptakan ketimpangan baru di level akar rumput.
Dalam rapat kerja bersama Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi di Jakarta, Senin (26/5/2025), Mufti menyoroti sejumlah celah serius, mulai dari dugaan nepotisme dalam penunjukan pengurus koperasi desa, hingga kekhawatiran akan matinya UMKM lokal yang telah eksis.
Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan ini mengimbau agar langkah-langkah antisipatif dilakukan sejak dini, mengingat skala proyek ini sangat besar dan menyentuh langsung masyarakat desa.
Mufti Anam juga menyuarakan kekhawatiran publik yang mulai mencuat dari daerah pemilihannya, seperti Pasuruan dan Probolinggo.
Ia menilai ada kesan eksklusivitas dalam perekrutan pengurus koperasi desa, bahkan menuduh banyak yang ditunjuk adalah kerabat kepala desa.
Isu ini, menurutnya, bisa mencederai kepercayaan masyarakat dan merusak esensi pemberdayaan ekonomi.
Pemerintah Diingatkan Cegah KKN
Dalam kritik tajamnya, Mufti Anam menekankan pentingnya seleksi terbuka dan profesional dalam memilih pengurus koperasi.
“Jangan sampai ada nepotisme dan KKN sejak awal. Apa langkah konkret dari Pak Menteri untuk memastikan bahwa pengurus KMP ini tidak asal tunjuk, tapi betul-betul profesional dan punya integritas?” katanya.
Menurut Mufti, banyak warga berasumsi bahwa koperasi desa justru menjadi ajang ‘bancakan’ baru bagi elite desa.
Ia menyebut banyak sarjana akuntansi dan administrasi yang kembali ke desa tetapi tidak mendapat informasi apapun soal perekrutan koperasi tersebut.
Ia menganggap hal ini sebagai kegagalan komunikasi dan pelanggaran prinsip transparansi yang sangat mendasar.
Koperasi Jangan Menggilas yang Kecil
Selain persoalan tata kelola, Mufti juga mengkritisi model bisnis koperasi merah putih yang dirancang untuk menjual sembako, elpiji, dan pupuk.
Ia mempertanyakan dampaknya terhadap toko-toko kecil dan warung UMKM yang selama ini menopang perekonomian warga desa.
“Bagaimana ekosistem yang sudah terbentuk di desa-desa ini, Pak Menteri? Siapa yang bertanggung jawab kalau kemudian dengan adanya KMP nanti warung-warung, toko-toko UMKM ini gulung tikar?” tegasnya.
Ia menambahkan, keberadaan warung-warung kecil bukan sekadar soal ekonomi, tapi juga menyangkut kelangsungan hidup keluarga-keluarga desa.
“Mohon maaf warung-warung ini kan mereka yang menghidupi keluarganya. Kalau ketika gulung tikar, siapa yang bertanggung jawab ketika mereka tidak bisa menghidupi keluarganya lagi, tidak bisa nyangoni anaknya lagi kalau berangkat ke sekolah?”
Koperasi Harus Jadi Solusi, Bukan Ancaman
Mufti Anam menutup pernyataannya dengan harapan bahwa koperasi desa tidak berubah arah dari tujuannya semula sebagai alat pemberdayaan masyarakat.
“Maka jangan sampai koperasi desa yang tujuannya adalah memberdayakan masyarakat desa, tapi justru membunuh, menjadi monster yang menggilas usaha yang ada di desa-desa,” pungkasnya.
Sementara itu, Menteri Koperasi Budi Arie menanggapi dengan mengakui bahwa tantangan utama adalah mengikis rasa ragu dan ketidakpercayaan publik terhadap proyek ini.
Ia tetap yakin bahwa jika program koperasi dikelola dengan benar, akan lahir struktur ekonomi desa yang adil dan berkeadilan.
“Ini memang soal pertaruhan kita tentang koperasi, di mana program kopdes ini saya yakin jika dikelola dengan baik akan memunculkan sebuah tata sosial ekonomi yang lebih berkeadilan,” katanya.***