TEHERAN – Konflik Iran-Israel semakin memanas setelah serangan udara Amerika Serikat menghantam tiga instalasi nuklir Iran—Fordo, Natanz, dan Isfahan.
Serangan ini memicu perdebatan serius di kalangan elite politik Iran tentang langkah balasan yang harus diambil.
Iran selama ini dikenal vokal dalam menentang hegemoni AS, namun kini dihadapkan pada risiko besar jika memutuskan untuk menyerang balik.
Dalam sejarah hubungan kedua negara, Iran kerap berada di ambang konfrontasi militer langsung dengan Washington, namun selalu memilih langkah yang menghindari eskalasi.
Kali ini, situasinya berbeda. Serangan terang-terangan terhadap infrastruktur nuklir menjadi pukulan serius terhadap kedaulatan dan kebanggaan nasional.
Melansir Nytimes, Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menyebut tindakan AS sebagai “sangat berbahaya bagi semua pihak” dalam pernyataannya di Istanbul.
Di tengah kecaman global dan keresahan regional, Iran menggalang dukungan dari negara-negara Timur Tengah.
Dalam forum Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Araghchi mencoba menyatukan sikap negara-negara Muslim terhadap agresi yang dinilai melanggar hukum internasional.
Namun, upaya diplomatik sejauh ini belum menunjukkan hasil signifikan.
Ketegangan Memuncak
Organisasi Energi Atom Iran menegaskan bahwa serangan ini melanggar Perjanjian Non-Proliferasi (NPT) dan hukum internasional lainnya.
Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa “serangan lanjutan akan dilakukan” jika Iran tidak menunjukkan niat damai.
Dalam pidatonya Sabtu malam, Trump menyiratkan bahwa konfrontasi terbuka adalah opsi yang sangat mungkin jika Iran tetap bersikukuh mempertahankan program nuklirnya.
Sementara itu, komandan militer Iran terus memperingatkan bahwa kehadiran militer AS di wilayah ini bisa menjadi pemicu pembalasan berskala besar.
Jenderal Mohsen Rezaei bahkan menyebut opsi menyerang pangkalan militer Amerika serta menutup Selat Hormuz bukan sekadar ancaman kosong.
Sebagai jalur vital perdagangan energi global, penutupan selat ini bisa berdampak luas terhadap perekonomian dunia.
Pihak Iran menyadari, pilihan yang tersedia kini sangat terbatas: membalas dan menghadapi konsekuensi perang besar, atau menahan diri dan menerima posisi tawar yang jauh melemah.
Dalam wawancaranya dengan NBC News, Araghchi menegaskan, “Ketika ada perang, kedua belah pihak saling menyerang… Pertahanan diri adalah hak sah setiap negara.”
Strategi Bertahan atau Menyerang: Masa Depan Iran Dipertaruhkan
Kondisi geopolitik kawasan berubah drastis sejak pecahnya konflik bersenjata. Iran, yang dulu dipandang sebagai kekuatan dominan di kawasan, kini berisiko kehilangan pengaruh strategis.
Kapasitas militer menurun, program nuklir lumpuh, dan posisi tawar terhadap negara-negara Barat menyusut drastis jika tidak segera melakukan langkah strategis.
Sementara sebagian pihak dalam pemerintahan menyerukan gencatan senjata, suara-suara konservatif memperingatkan bahwa sikap pasif hanya akan memperbesar tekanan dari Amerika dan sekutunya.
Analis politik konservatif Reza Salehi menyatakan, “Tantangan besar yang kami hadapi minggu ini adalah jika kami pergi ke meja perundingan, pihak lain akan memiliki lebih banyak dan permintaan baru, seperti kemampuan pertahanan kami, dan itu akan memperumit segalanya.”
Tekanan juga datang dari milisi-milisi yang berafiliasi dengan Iran di kawasan.
Meski Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Gaza sedang melemah, kelompok Houthi di Yaman menyatakan kesiapan menyerang kapal perang AS di Laut Merah jika serangan berlanjut.
“Jika Amerika terlibat dalam serangan dan agresi terhadap Iran bersama musuh Israel, angkatan bersenjata akan menargetkan kapal dan kapal perang mereka di Laut Merah,” ujar juru bicara militer Houthi, Yahya Saree.
Negosiasi Gagal, Jalan Diplomasi Terancam Tertutup
Sebelum pecahnya serangan mendadak Israel pada 13 Juni, Iran dan Amerika sebenarnya tengah menjalani perundingan damai melalui mediasi Oman.
Fokus utamanya adalah membatasi program nuklir Iran sebagai imbalan atas pelonggaran sanksi ekonomi.
Namun, syarat dari pihak AS yang menuntut penghentian total pengayaan uranium dan pembongkaran fasilitas dianggap tidak bisa ditawar.
Pihak Iran menyatakan bahwa pengayaan uranium di wilayahnya adalah harga mati yang tidak bisa dinegosiasikan.
Serangan Israel dua hari sebelum pertemuan lanjutan di Oman membuat kesepakatan yang sudah mendekati final runtuh seketika.
Kini, pilihan Iran berada di ujung tanduk. Menyerang bisa berarti perang panjang dan kehancuran, sementara menahan diri bisa mengakibatkan keruntuhan pengaruh dan harga diri nasional.
Dunia menanti, dan kawasan Timur Tengah kembali berada dalam bayang-bayang konflik yang dapat meluas.***