JAKARTA – Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Sosial mulai mengubah strategi penanggulangan kemiskinan.
Bantuan sosial (bansos) yang sebelumnya bersifat pasif kini digantikan dengan program pemberdayaan sosial berbasis potensi lokal.
Langkah ini bertujuan menciptakan kemandirian ekonomi warga dan mengurangi ketergantungan terhadap bansos.
Perubahan tersebut ditegaskan Menteri Sosial Saifullah Yusuf, yang menyampaikan bahwa pemerintah tengah aktif mendorong model pembangunan sosial yang lebih berkelanjutan.
Salah satu bentuk implementasinya adalah program pelatihan dan pemberdayaan masyarakat berbasis potensi lokal di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Wilayah ini dipilih karena memiliki lahan pisang seluas ribuan hektare yang bisa dimanfaatkan untuk produk olahan bernilai jual tinggi.
“Bansos itu sifatnya sementara, tetapi pemberdayaan itu bekal jangka panjang. Maka arah kebijakan sosial sekarang adalah mengurangi ketergantungan dan memperkuat kemandirian,” ujar Saifullah Yusuf, Jumat (30/5/2025).
Program ini juga berkaitan dengan pembentukan Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat oleh Presiden Prabowo, sebagai bentuk komitmen dalam menyeimbangkan perlindungan sosial dan peningkatan kapasitas ekonomi rakyat miskin.
Dari Konsumsi ke Produksi
Saifullah menyampaikan bahwa pemberdayaan menjadi solusi jangka panjang untuk menciptakan keluarga mandiri.
Ia mengkritik pola bansos yang hanya membuat masyarakat tergantung tanpa memberikan dorongan untuk berkembang.
“Keluarga Penerima Manfaat terus menerus menerima bansos tetapi tanpa semangat untuk bangkit. Pemberdayaan adalah solusi agar mereka bisa naik kelas dan mandiri,” jelasnya.
Salah satu upaya konkret dilakukan melalui pelatihan bagi warga Desa Ranuyoso di Kecamatan Ranuyoso dan Desa Klanting di Kecamatan Sukodono.
Pelatihan mencakup keterampilan produksi olahan pelepah pisang dan strategi akses ke pasar, langsung dibimbing oleh Kementerian Sosial.
Potensi ini dinilai besar karena Lumajang memiliki sekitar 6.000 hektare kebun pisang di wilayah seperti Senduro, Pasirian, dan Tempursari.
Penguatan Data dan Peran Daerah Jadi Kunci
Saifullah juga menekankan pentingnya akurasi data dalam penyaluran program.
Ia menyoroti pentingnya basis Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTSEN) agar setiap intervensi tepat sasaran dan tidak didasarkan hanya pada rekomendasi informal dari aparat desa.
“Tetapi semua intervensi harus berbasis DTSEN. Jangan hanya berdasarkan katanya camat atau kepala desa, kalau datanya belum tepat, perbaiki, jangan abaikan DTSEN, ini tolong betul-betul dijaga. Bupati dan Sekda adalah penentu akurasi data di daerah,” tegasnya.
Merespons hal itu, Bupati Lumajang Indah Amperawati menyampaikan apresiasi terhadap inisiatif pemerintah pusat.
Ia menilai pendekatan ini akan membawa manfaat jangka panjang karena masyarakat tidak hanya diberi harapan, tetapi juga kemampuan untuk membangun usaha.
“Mudah-mudahan makin banyak keluarga penerima manfaat di Lumajang digraduasi. Dan tidak lagi bergantung pada bansos karena sudah mandiri,” kata Indah.
Langkah ini menandai era baru dalam penanganan kemiskinan di Indonesia, di mana pendekatan pemberdayaan kini menjadi prioritas, bukan sekadar alokasi bantuan pasif.***