JAKARTA – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tengah gencar mengajak masyarakat untuk mengucapkan selamat tinggal pada sertifikat tanah model lama dan beralih ke versi elektronik.
Inisiatif ini bukan sekadar modernisasi, melainkan langkah strategis untuk mengunci keamanan aset tanah dari risiko penyerobotan hingga sengketa yang kian mengintai.
Kepala Biro Humas Kementerian ATR/BPN, Harison Mocodompis, menyebut transformasi digital ini sebagai jawaban atas tantangan zaman.
“Sertifikat tanah yang terbit pada tahun 1961-1997 berpotensi rawan diserobot karena tidak dilengkapi dengan peta kadastral. Peta kadastral berfungsi untuk menunjukkan batas kepemilikan tanah secara jelas sehingga menghindari sengketa lahan,” tegas Harison dalam sesi wawancara eksklusif bersama PRO3 RRI, Jumat (21/3/2025).
Ia memaparkan, dokumen era lawas ini kerap menjadi celah bagi oknum yang memanfaatkan ketidakjelasan batas lahan, sehingga memperbarui ke format digital dengan data terintegrasi menjadi keharusan.
Proses alih media ini dirancang ramah pengguna. Harison menjelaskan, pemilik sertifikat lama cukup melangkah ke kantor pertanahan terdekat untuk memulai.
Jika tidak ada perubahan luas atau kepemilikan, layanan ini nol rupiah alias gratis, tanpa ribet pengukuran ulang.
Namun, bagi yang menemukan ketidaksesuaian data—misalnya luas tanah berbeda dari dokumen asli—tim BPN akan turun tangan melakukan verifikasi dan pengukuran ulang.
“Jika luas tanah berbeda dari sertifikat lama, maka perlu dilakukan pencocokan dan penyesuaian data,” tambahnya, memastikan ketelitian tetap nomor satu.
Kecepatan juga jadi nilai jual program ini. Harison menjamin, selama dokumen pendukung seperti bukti pembayaran pajak atau akta kepemilikan lengkap, prosesnya bisa selesai dalam tiga hari—bahkan lebih singkat di beberapa kasus.
Ia menekankan pentingnya dokumen pendukung ini sebagai bukti sah kepemilikan, sekaligus senjata ampuh mencegah sengketa di kemudian hari.
“Jangan sampai aset berharga Anda terancam hanya karena dokumen tak terurus,” ujarnya, memberi peringatan sekaligus ajakan.
Tak hanya soal keamanan, sistem elektronik ini membawa kemudahan akses.
Data tanah yang sudah “go digital” tersimpan dalam basis data terpusat, memungkinkan pemilik memeriksanya kapan saja tanpa khawatir dokumen fisik hilang atau rusak.
Harison juga menyinggung bahwa program ini sejalan dengan visi pemerintah untuk menciptakan tata kelola pertanahan yang transparan dan modern.
Kementerian ATR/BPN kini mengintensifkan sosialisasi agar masyarakat tak ragu memanfaatkan layanan ini.
Harison berharap, dengan sertifikat elektronik, kasus sengketa lahan yang selama ini jadi momok—terutama di daerah rawan konflik—bisa ditekan seminimal mungkin.
Ia mengakhiri dengan seruan: “Ini saatnya amankan hak kepemilikan Anda. Jangan tunda, segera urus sebelum terlambat!”***