JAKARTA – Analis saham menilai ekonomi Indonesia tidak terlalu rentan terhadap guncangan dari perdagangan global. Mereka juga memperkirakan pemulihan pasar berbentuk “V” akan segera terjadi, didorong oleh masuknya likuiditas global ke dalam negeri.
Satria Sambijantoro, Kepala Riset Bahana Sekuritas, menyampaikan bahwa dengan penurunan ETF (Exchange-Traded Fund) ekuitas Indonesia hingga -10% dalam seminggu saat pasar lokal tutup, hampir dipastikan ada pemicu arus keluar ketika IHSG kembali dibuka pada hari Selasa.
“Namun, ada potensi pembeli institusional, baik asing maupun lokal, yang akan masuk, karena tingkat kas mereka sudah tinggi seiring dengan peningkatan penjualan ekuitas sebelum liburan panjang Idulfitri,” ujar Satria dalam risetnya, Selasa (8/4/2025).
Satria menambahkan, kontribusi ekspor Amerika Serikat (AS) terhadap PDB Indonesia hanya sekitar 2%, yang merupakan paparan makro terkecil di Asia Tenggara jika dibandingkan dengan Thailand (11%) dan Malaysia (10%). Produk Indonesia yang diekspor ke AS dikenakan pajak 32%, meski tarif ini tetap lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara seperti Bangladesh, Kamboja, Tiongkok, Sri Lanka, dan Vietnam, yang dikenakan bea masuk sebesar 37-49%. Negara-negara tersebut juga merupakan pesaing Indonesia dalam menarik investasi.
“Mengingat paparan perdagangan yang minimal, Indonesia justru berada di zona ‘Goldilocks’ dengan harga minyak yang lebih rendah, penurunan suku bunga global, dan kondisi makroekonomi domestik yang stabil,” ujar Satria.
Dalam beberapa hari terakhir, pasar ekuitas di negara-negara yang sangat terpapar perdagangan global seperti Hong Kong, Jepang, Singapura, dan Taiwan mengalami penurunan yang tajam. Sementara itu, indeks saham di pasar negara berkembang seperti India dan Malaysia hanya mengalami penurunan di bawah 8%.
Satria mencatat, saat ini rupiah berada di level Rp17.000 per dolar AS, terdepresiasi sebesar 11% dalam enam bulan terakhir. Depresiasi tersebut sebenarnya memberikan keuntungan tersendiri, terutama dalam menghadapi tarif AS. Rupiah yang melemah terjadi di tengah pelemahan indeks dolar/DXY, dengan sebagian besar mata uang Asia justru mengalami apresiasi baru-baru ini.
“Kami percaya mata uang yang undervalued dapat meningkatkan daya saing ekspor manufaktur Indonesia ke AS dan meningkatkan daya tarik ekuitas serta obligasi bagi investor asing,” tulis Satria.
Ia juga memprediksi bahwa tarif AS yang baru akan berdampak minimal terhadap laba perusahaan Indonesia, yang saat ini berada pada level yang relatif rendah untuk estimasi 2025.
Lebih lanjut, Satria menilai margin perusahaan Indonesia mungkin justru mengalami dampak positif. Rupiah yang terdepresiasi sebesar 5% dalam sebulan ditambah dengan penurunan harga minyak sebesar 15% — yang merupakan biaya utama bagi perusahaan-perusahaan Indonesia — memberikan angin segar bagi mereka.
“Pandangan kami adalah bahwa kapitulasi Presiden Donald Trump akan terjadi lebih cepat daripada yang diperkirakan; sedikit saja tanda-tandanya akan memicu pemulihan pasar yang lebih dahsyat daripada yang terjadi pada tahun 2020,” pungkasnya.