JAKARTA – Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) belum sebulan diluncurkan Presiden Prabowo Subianto, tepatnya 24 Februari 2025 lalu.
Namun demikian sudah ada empat negara Eropa, Asia, Amerika Latin yang berminat berinvestasi di Danantara untuk sektor energi hijau, pasar karbon dan kredit karbon.
Hal tersebut seperti diungkapkan Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, dalam acara Indonesia Green Energy Investment Dialogue 2025.
Acara tersebut diselenggarakan oleh Kadin Indonesia bersama Katadata Green di Hotel St. Regis, Jakarta, Kamis (27/02/2025).
Hashim mengungkapkan bahwa empat negara tersebut yakni Inggris, China, India, dan Brasil. Mereka telah menyatakan minatnya untuk berinvestasi dalam sektor energi hijau Danantara.
“Pemerintah Indonesia melalui Danantara akan dapat melakukan investasi bersama dengan calon investor dari luar negeri. Ada banyak dalam berbagai perjalanan saya ke Beijing, dan kemudian perjalanan terakhir adalah ke New Delhi,” kata Hashim dikutip Katadata.
Selain itu, Hashim mengungkapkan sejumlah perusahaan Brasil dan Inggris menunjukkan ketertarikan besar untuk berpartisipasi dalam pasar karbon dan kredit karbon.
“Bukan hanya untuk investasi di sektor hijau, tetapi juga untuk berpartisipasi aktif dalam pasar karbon dan kredit karbon,” tutur Hashim.
Hashim optimistis bahwa Indonesia memiliki masa depan cerah dalam pengembangan sektor hijau dan pasar karbon.
Ia menekankan kesiapan Indonesia untuk memimpin pasar karbon global melalui langkah-langkah strategis, termasuk pengakuan dari lembaga internasional dan pemanfaatan sumber daya alam.
Dengan masuknya investasi internasional dan pengembangan solusi berbasis alam, Hashim berharap Indonesia dapat menciptakan ekonomi hijau yang berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
Pemerintah juga berencana merevisi Peraturan Presiden terkait bursa karbon untuk mengakomodasi perdagangan karbon di sektor kehutanan dan konservasi.
Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup telah merekomendasikan pembukaan kembali perdagangan karbon berbasis solusi alam, mengingat minat pembeli terhadap kredit karbon dari proyek konservasi.
“Butuh waktu beberapa bulan untuk merevisi Perpres bursa karbon. Saya cukup optimistis soal ini,” katanya.
Hashim juga menyebut bahwa beberapa perusahaan asal Inggris telah menyatakan minatnya dalam pasar karbon di Indonesia.
Untuk mengakomodasi hal tersebut, pemerintah sepakat menggunakan standar verifikasi global seperti Verra dan Gold Standard yang telah diakui oleh negara-negara di Asia.***