KARACHI, PAKISTAN – Hubungan India dan Pakistan kembali memanas. Kedua negara tetangga di Asia Selatan ini memperpanjang larangan terbang bagi maskapai penerbangan masing-masing hingga Juni 2025, menyusul ketegangan yang belum mereda. Keputusan ini diumumkan otoritas penerbangan sipil kedua negara pada Jumat (23/5/2025), menandai babak baru dalam konflik geopolitik yang terus memengaruhi konektivitas udara di kawasan.
Larangan ini pertama kali diberlakukan Pakistan pada 24 April, menutup wilayah udaranya untuk pesawat berregistrasi India. Tidak tinggal diam, India membalas dengan kebijakan serupa beberapa hari kemudian. Awalnya, larangan ini dijadwalkan berakhir pada 23 Mei, namun kedua pihak memutuskan untuk memperpanjangnya, mencerminkan ketegangan yang masih membara.
Latar Belakang Konflik
Eskalasi ini dipicu oleh serangan teroris di wilayah Jammu dan Kashmir pada 22 April, yang menewaskan 25 warga India dan satu warga Nepal. Insiden ini memicu respons militer dari India, termasuk Operasi Sindoor, yang menurut Menteri Pertahanan India Rajnath Singh “masih belum berakhir.” Pakistan pun melakukan serangan balasan, termasuk operasi siber yang diklaim menyebabkan pemadaman listrik di beberapa wilayah India.
Meski gencatan senjata dimediasi Amerika Serikat pada 10 Mei, ketegangan tetap tinggi.
“Saya mengajukan pertanyaan ini kepada dunia: Apakah senjata nuklir aman di tangan negara yang tidak bertanggung jawab dan jahat seperti itu? Senjata nuklir Pakistan harus berada di bawah pengawasan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA),” kata Rajnath Singh di Srinagar, ibu kota Kashmir yang dikelola India.
Pakistan membalas pernyataan tersebut dengan keras.
“Jika ada, IAEA dan masyarakat internasional seharusnya khawatir tentang pencurian berulang dan insiden perdagangan gelap yang melibatkan bahan nuklir dan radioaktif di India,” tegas Kementerian Luar Negeri Pakistan.
Dampak pada Penerbangan
Larangan terbang ini berdampak signifikan pada maskapai penerbangan dan penumpang di kedua negara. Rute penerbangan internasional, terutama ke Timur Tengah dan Eropa, terganggu karena banyak pesawat biasanya melintasi wilayah udara India atau Pakistan. Maskapai seperti Garuda Indonesia, misalnya, terpaksa mengalihkan rute melalui Sri Lanka untuk menghindari zona konflik, menambah waktu tempuh dan biaya bahan bakar.
“Kalau dari Indonesia ke Arab Saudi, biasanya lewat Sri Lanka dan bisa menghindari wilayah udara India-Pakistan. Tapi untuk penerbangan dari hub seperti Dubai atau Oman, dampaknya lebih terasa karena lokasinya berdekatan,” ujar Gatot, seorang analis penerbangan.
Pengalihan rute ini tidak hanya meningkatkan konsumsi avtur, tetapi juga berpotensi menambah biaya tiket bagi penumpang. AirNav Indonesia, yang memantau lalu lintas udara, memastikan maskapai Indonesia mematuhi notifikasi penerbangan (NOTAM) dari otoritas India dan Pakistan untuk menjaga keselamatan.
Implikasi Regional dan Global
Konflik ini bukan hanya soal larangan terbang. Ketegangan antara dua negara bersenjata nuklir ini menimbulkan kekhawatiran global akan risiko eskalasi lebih lanjut. Analis internasional, seperti Umer Farooq dari Islamabad, menegaskan bahwa “faktor pencegahan masih berlaku,” tetapi potensi perang terbuka tetap menjadi ancaman serius.
Di media sosial, warganet di platform X pun menyoroti dampak larangan ini. Seorang pengguna dengan akun @bhs7rocks menulis, “Pakistan memperpanjang penutupan wilayah udara untuk pesawat India hingga 23 Juni, dan India membalas dengan langkah serupa. Pengatur lalu lintas udara di Mumbai bakal sibuk sebulan ke depan. #IndiaPakistanTensions”
Harapan untuk De-eskalasi
Meski gencatan senjata masih berlaku, tuduhan pelanggaran dari kedua belah pihak menunjukkan rapuhnya situasi saat ini. Upaya mediasi oleh Amerika Serikat dan Arab Saudi terus dilakukan untuk meredakan ketegangan. Penduduk di wilayah perbatasan, terutama di sekitar Garis Kontrol (LoC), berharap ketenangan ini dapat bertahan.
“Kami hanya ingin hidup damai. Empat hari tanpa suara senjata sudah seperti anugerah,” ujar seorang warga di dekat LoC, mencerminkan kelelahan masyarakat akibat konflik berkepanjangan.